Pengalaman Menjadi Muslim di Korea Selatan
Geliat masyarakat muslim di Korea Selatan mulai tumbuh seiring semakin banyaknya pekerja migran dari negara berpenduduk Muslim, seperti Indonesia, Bangladesh, Uzbekistan hingga Pakistan. Dari Indonesia sendiri, jumlah pekerja migran mencapai sekitar 35.000-40.000 orang, sedangkan jumlah mahasiswa Indonesia di Korea Selatan mencapai 2.000 orang. Hal ini disampaikan oleh Thomhert Sidari, Ph.D, Ketua Umum Asosiasi Peneliti Indonesia di Korea (APIK) dalam diskusi public special Ramadan yang diselenggarakan oleh Institute for Global and Strategic Studies, Sabtu (16/4).
Pertumbuhan jumlah muslim juga disebabkan oleh keramahtamahan Korea Selatan kepada pendatang Muslim. Ini tidak lepas dari kebutuhan ekonomi Korea Selatan pada sektor pariwisata. Kedatangan wisatawan Muslim dari berbagai negara seperti Indonesia dan Malaysia mampu memberikan dampak pada acara-acara keislaman seperti Korean Halal Festival atau munculnya tempat sholat di mall-mall Korea Selatan.
“Selain itu, jumlah mahasiswa Muslim yang mulai cukup banyak membuat kampus-kampus mulai menyediakan prayer room yang sebenarnya diperuntukkan bagi seluruh agama.” Ujarnya. Ia juga menyoroti faktor teknologi yang mampu memberikan pengaruh terhadap industri makanan khususnya pemesanan makanan halal melalui aplikasi.
Thomhert menyatakan bahwa kunci utama menjadi seorang Muslim di Korea adalah komunikasi khususnya terkait makanan apa saja yang boleh dimakan dan apa yang tidak. Selain itu, komunikasi juga perlu dilakukan untuk menjelaskan waktu dalam melaksanakan sholat Jumat yang mencapai 2 jam kepada atasan di tempat bekerja. Dua jam tersebut muncul karena perjalanan menuju masjid terdekat yang cukup jauh saat hendak melaksanakan sholat.
Para pemeluk agama Islam juga kerap kali dihadapkan pada kesalahpahaman selama di Korea Selatan. Seperti dialami oleh Aji Teguh, mahasiswa kandidat doctoral di Pusan National University. Ia berkisah bahwa orang Korea tidak tahu seorang Muslim mencuci kaki ketika berwudhu. Kerap kali timbul kesalahpahaman karena di toilet-toilet Korea tidak menyediakan fasilitas wudhu seperti di Indonesia.
“Suatu ketika, saya tengah mencuci kaki secara langsung di wastafel dan dimarahi oleh orang Korea secara langsung.” Ujarnya. menanggapi hal ini, ia pun melakukan wudhu dengan tidak membasuh kaki secara langsung melainkan hanya alas kaki seperti Muslim di Mesir dan Arab Saudi. “Daripada kita capek menjelaskan ke orang Korea untuk membasuh kaki, lebih baik mengambil fatwa yang tidak mewajibkan membasuh kaki.” Kisahnya. (AP/ESP)