Pengalaman Hanifah Berpuasa Hampir 16 Jam di Polandia
Hanifah Putri Darmawanti, alumni Universitas Islam Indonesia menceritakan pengalaman pertamanya berpuasa Ramadan di Polandia. Di Polandia, Hanifah harus menjalani puasa selama 15 jam 40 menit atau lebih lama sekitar dua jam dari lama berpuasa di Jakarta. “Iya, alhamdulillah bisa berpuasa disini meskipun ya tantangannya lebih lama,” kata Hanifah saat live Instagram di akun @aushaf_uii.
Hanifah kini tengah mempersiapkan studi S2 nya di Polandia. Setelah kurang lebih enam bulan tinggal di Polandia, ia mengaku sudah mulai bisa beradaptasi. Tinggal di negara dengan mayoritas non muslim tentunya merupakan tantangan tersendiri. Apalagi untuk melewati bulan Ramadan.
“Di sini kan sebetulnya agak mirip dengan Indonesia. Kalo di Indonesia mayoritas muslim, di sini mayoritas Katolik. Polandia juga termasuk negara yang religius. Orang-orangnya pun open minded. Masjid biasa berkumandang disini.” ujarnya.
Jauh dari orang tua juga membuat Hanifah harus bisa mengurus dirinya sendiri. Termasuk masak sahur dan buka puasa. Ia mengaku untuk sahur biasanya ia lakukan sendiri. Namun, berbeda saat buka puasa biasanya akan makan bersama mahasiswa Indonesia lainnya. Karena peraturan pemerintah Polandia saat ini masih melarang aktivitas makan di tempat di restoran. Hanifah bersama teman-temannya biasa buka bersama di asrama mahasiswa.
“Hal yang bikin rindu sama Indonesia sih ngabuburit sama takjil kali ya? Kalo di Indonesia bulan Ramadhan pasti pasar sore ada di mana-mana. Sedangkan di sini tidak ada. Tapi, kadang dari pihak KBRI mengadakan buka bersama, jadi mungkin itu sedikit bisa menggantikan rasa rindu kita. Kalo masalah ngabuburit sih disini sebenarnya lumayan karena fasilitasnya banyak. Kayak taman gitu, apalagi karena saat ini cuacanya enak aku biasa sepedaan sama teman-teman,” cerita Hanifah.
Hanifah juga menceritakan bagaimana pengalamannya saat baru datang ke negara yang memiliki Bursa Efek paling penting di Eropa Tengah. Ia mengaku sejauh ini belum pernah mengalami tindakan rasisme karena ia muslim dan berjilbab. Untuk penduduk mudanya sendiri sangat toleran. Mungkin, biasanya para orang tua yang akan sedikit tertutup. “Teman saya bahkan pernah diberi kursi saat di bus oleh rodzicielstwo atau orang tua dalam bahasa Polandia,” katanya.
Hal wajar jika kita berjilbab lalu dipandang oleh orang-orang. Karena ya memang Polandia kan mayoritas Katolik dan sedikit sekali disini yang berjilbab. Biasanya mereka penasaran, bukan ingin melakukan tindakan rasisme. Tipsnya adalah dengan menyapa dengan ramah.
Hanifah juga membagikan pengetahuan seputar beasiswa di Polandia. Saat ini ada dua beasiswa, yang pertama adalah Kerjasama Pemerintahan NTB dengan Polandia yang terbuka untuk sains dan sosial. Sedang yang kedua adalah Ignacy Lukasiewicz yang dikhususkan untuk sains. Ia mengikuti beasiswa program Ignacy Lukasiewicz yang pendaftarannya mulai dibuka bulan April setiap tahunnya. (UAH/ESP)