Penerapan TIK di Ranah Kesehatan
Tiap tahun, bulan November dijadikan sebagai Bulan Mutu Nasional. Dalam rangka memperingatinya, Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Badan Standardisasi Nasional (BSN) menggelar webinar tentang standardisasi di ranah pelayanan kesehatan, Rabu (11/11). “Standar dan Penilaian Kesesuaian sebagai Enabler Layanan Kesehatan Berbasis TIK” menjadi tema pada kesempatan tersebut.
Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. selaku Wakil Rektor Bidang Networking dan Kewirausahaan turut memberi sambutan di acara ini. Ia menegaskan pentingnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam ranah kesehatan. “Sangat jelas, teknologi informasi kesehatan telah berjasa memegang peranan penting dalam memerangi pandemi Covid-19,” ucapnya.
TIK seperti Internet of Things dan Kecerdasan Buatan (AI) telah memegang peranan besar dalam hal pelayanan kesehatan, dan keberadaan Covid-19 semakin mendorong pemanfaatannya. Oleh karena itu, ia berharap berbagai pihak terkait standardisasi pelayanan kesehatan berbasis TIK ini.
“Kami mengharapkan kepada BSN, Kementerian Kesehatan, dan lembaga pemerintah terkait agar dapat bekerja sama mengembangkan dan mengaplikasikan standar, serta menyediakan pengujiannya dalam memanfaatkan TIK pada layanan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan keamanannya,” tuturnya.
Mengutip dari laman web resmi, BSN merupakan lembaga pemerintah non-kementerian Indonesia dengan tugas pokok yakni melaksanakan tugas pemerintah di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian di Indonesia. Oleh karena itu, serangkaian acara pada Bulan Mutu Nasional ini menjadi momentum mengedukasi khalayak terkait standardisasi, khususnya dalam hal pelayanan kesehatan berbasis TIK.
“Standardisasi ini lebih tinggi ya daripada peraturan kalau kita bandingkan,“ sebut Ir. Nasrudin Irawan, MEnvStud., Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN. “Standar ini dibuat berdasarkan konsensus antara pihak yang mengatur dan diatur. Kalau peraturan meskipun peraturan itu bagus tapi seringkali ada aja pihak yang mengeluh atau protes keberatan,” ungkapnya.
“Saya gambarkan misalnya penentuan jumlah ojek dalam suatu kota. Kalau ditentukan misal 10.000, itu nanti pengemudinya mengeluh, bilang terlalu banyak, sehingga penghasilannya turun. Sedangkan (jika dikurangi) penumpang mengeluh karena menunggunya terlalu lama. Tetapi kalau ini disusun berdasarkan standar, berdasarkan konsensus antar pihak katakanlah hasilnya 9.000, maka ini tingkat keberterimaannya akan tinggi dan diterima semua pihak,” jelasnya memberi contoh.
Dijelaskan Nasrudin Irawan, standardisasi pada dasarnya bersifat sukarela. Namun demikian, terdapat kategori yang tidak bisa ditoleransi alias wajib sifatnya diterapkan. kategori tersebut yakni yang terkait langsung dengan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup atau yang biasa disingkat K3LH.
Dalam penyelenggaraan webinar tentang standardisasi di ranah pelayanan kesehatan ini, dihadiri pula sejumlah narasumber dengan subtopik bahasan yang berbeda. Mewakili Kementerian Kesehatan, dr. Iin Dewi Astuti membahas soal kebijakan dan program terkait telemedicine di Indonesia. Kemudian Direktur Penngembangan Bisnis Underwriter Laboratory (UL) USA James Keller dan Pimpinan Praktik Regional Underwriter Laboratory (UL) Cina Paul B Zhang. Keduanya yang mewakili perusahaan multinasional konsultan keamanan dan sertifikasi itu memaparkan tren global dalam hal telehealth dan AI.
Selain itu, ada Prof. Dr. Kuwat Triyana, M.Si. mengangkat GeNose, alat uji Covid-19 yang ditemukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Dua pembicara lain, Guru Besar Universitas Indonesia (UI) sekaligus Ketua Institute of Electrical and Electronics Engineering (IEEE) Indonesia Prof. Dr. Wisnu Jatmiko dan Sekretaris Prodi Teknik Industri UII Ir. Ira Promasanti Rachmadewi, M.Eng. masing-masing secara berurutan membahas standardisasi telehealth dan AI serta Implementasi e-health dan peran standar terkait. Tidak kurang dari 200 peserta dari beragam latar belakang hadir secara maya mengikuti webinar. (HR/RS)