Pendidikan Tidak Berhenti di Sekolah
Pemerintah sudah selayaknya tidak sekadar meberikan perhatian pada layanan pendidikan di wilayah kota, namun juga di berbagai daerah. Terlebih di kala pandemi Covid-19 ini, dimana aktivitas pembelajaran diterapkan secara daring. Para guru pun hendaknya dapat menggandeng keluarga siswa dalam menghadapi kondisi pembelajaran.
Topik tersebut mengemuka dalam diskusi ELT Stuff: What Covid-19 Revealed About Our Education yang diadakan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Indonesia (PBI UII), beberapa waktu yang lalu secara daring.
Sejauh ini banyak institusi pendidikan yang telah menyesuaikan pembelajarannya berdasarkan regulasi pemerintah untuk Sekolah dari Rumah. Viviane Rizqi Fauzi, seorang English Instructor di ELTI Yogyakarta mengungkapkan bahwa perubahan cara belajar secara daring tidak mengubah materi, walaupun ada beberapa komplain yang disampaikan siswa terkait kuota internet. “Hanya sistem dan metode yang perlu disesuaikan,” tuturnya.
Kejadian serupa juga sempat dialami salah seorang dosen PBI UII, Banatul Murtafi’ah, dalam mengajar secara daring. Ia melihat bahwa partisipasinya bisa dibilang cukup rendah karena beberapa mahasiswa mengaku tidak memiliki cukup sinyal untuk mengakses aplikasi semacam Zoom.
Semakin jelas bahwa kondisi ini mengharuskan guru untuk senantiasa fleksibel dalam proses pembelajaran, “Akhirnya, solusi yang Saya tawarkan adalah menggunakan WhatsApp dan google classroom untuk sharing materi,” tutur Banatul Murtafi’ah.
Dosen STKIP Pamane Talino, Mustika Aji Hertanto justru menganggap Covid-19 memberikan dampak positif pada dunia pendidikan. Selain menyadarkan pentingnya melek teknologi, pandemi ini juga membuatnya melihat pentingnya kemampuan critical thinking di tengah arus informasi yang begitu deras. Tidak hanya menjadi alat yang membantu dalam menentukan keputusan, tapi juga membantu memerangi hoax.
Aji menyebutkan, kondisi di Kalimantan misalnya berbeda dalam menerapkan pembelajaran daring. “Beberapa siswa tidak punya gawai, beberapa ada yang punya, tapi minim sinyal bahkan tidak ada, dan ada beberapa yang punya gawai dan punya sinyal, tapi belum tentu bisa mengoprasikannya,” ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, Aji bersama dengan guru-guru di Kalimantan, melakukan gerakan sosial. “Pertama kami mengidentifikasi mahasiswanya, lalu kami mendatangi mereka untuk meminjamkan gawai. Kalau masih tidak efektif karena minimnya sinyal, kami menggunakan media Youtube untuk membagikan materi dan email untuk mengumpulkan tugas,” paparnya.
Melalui kondisi ini, Willy Prasetya, yang juga dosen di PBI UII menerangkan bahwa muncul satu gap yang tidak pernah muncul sebelumnya, yang sekarang menjadi terpapar nyata, yakni gap sosial-eknomi. Gap ini menjelaskan kenapa siswa di kota bisa melakukan pembelajaran secara daring, sementara mereka yang tertinggal menganggapnya sebagai hari libur. Melihat hal ini, Aji menyarankan agar masyarakat untuk terus proaktif mendorong pemerintah agar menyoroti permasalahan ini.
Lebih lanjut, dengan segenap perubahan pembelajaran, lantas bagaimana dengan peran orang tua dalam konteks Sekolah Dasar ataupun Sekolah Menengah Pertama? Pasalnya dalam realitanya tidak semua orang tua melek teknologi. Disayangkan ada beberapa orang tua yang justru “melahap” semua tugas anaknya. Justru pada kondisi seperti inilah orang tua seharusnya melihat pendidikan tidak hanya terjadi di ruang kelas sekolah, tetapi juga di dalam rumah.
“Dengan adanya Covid-19, kita tidak boleh mengesampingkan peran orang tua,” tutur Willy. Lebih lanjut, menurut Willy ke depan seharusnya sekolah perlu melibatkan sinergitas antar guru, siswa dan keluarga. “Sehingga, rapat orang tua tidak hanya membahas uang gedung,” ungkapnya. Willy juga mengusulkan bagi orang tua yang belum bisa mendampingi anaknya belajar, perlu diberikan pelatihan sehingga pendidikan tidak hanya berhenti di sekolah.
Di sisi lain, Willy menilai perubahan cara belajar menjadi daring merupakan eksperimen terbesar yang pernah dilakukan pada dunia pendidikan. “Karena ini eksperimen, wajar jika hampir tidak ada dari kita yang langsung sukses. Pasti ada trial and error,” tuturnya.
Lebih lanjut, Willy menjelaskan bahwa kunci terpenting dalam pendidikan adalah kualitas interaksi antara guru dan murid. “Dalam prakteknya guru memberikan materi dan tugas, siswa mengumpulkan, dan guru memberikan umpan balik. Namun yang seringkali terlupakan –mungkin kerena terfokus pada penyampaian materi adalah sebarapa baik interaksinya,” jelasnya.
Dengan adanya interaksi yang berkualitas, guru diharapkan dapat memastikan kesehatan mental dan kesiapan siswa dalam pembelajaran, terutama bagi siswa yang berpotensi berhenti di tengah jalan. (IG/RS)