Pencegahan dan Penanganan Tindakan Bully di Lingkungan Kampus
Fenomena kekerasan yang seringkali terjadi secara berulang dan disengaja pada waktu tertentu dikenal dengan sebutan “bullying”. Sekitar 80% pelajar mengalami kekerasan (bullying) di sekolah dan korban lebih cenderung diam. Hingga saat ini, bullying menjadi permasalahan serius dan tidak bisa dihentikan.
Departemen Advokasi LEM Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan webinar bertemakan “Pencegahan dan Penanganan Bullying Di Lingkungan Kampus” dengan mengundang narasmumber Syarif Nurhidayat, S.H., M.Hum. (Ketua Bidang Etika dan Hukum UII) dan M.Syafi’e, S.H.,M.H. (Dosen Hukum HAM FH UII) pada Senin (24/1).
M.Syafi’e menjelaskan mengenai arti bullying menurut Komnas HAM, bahwa bullying merupakan suatu bentuk kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan oleh seorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dan dalam situasi ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma depresi serta tidak berdaya.
Terdapat 4 (empat) bentuk-bentuk bullying menurut M.Syafi’e, pertama yakni bullying secara fisik, yang mana tindakan bullying yang melibatkan kontrak fisik antar pelaku dan korban seperti dipukul, ditendang, diludahi didorong, merusak, barang, dan tindakan lain yang merugikan fisik. Kedua yaitu bullying secara verbal, yang mana tindakan bullying tidak kasat mata seperti dicelam diejek dan diteror.
Berikutnya, yang ketiga yaitu bullying secara sosial, yakni tindakan menyebarkan rumor atau gosip yang tidak pasti, mengajak orang untuk menjauhi seseorang. Terakhir yakni cyberbullyinh yakni memberikan komentar kasar, menjatuhkan, mengancam, dan menyakiti yang disampaikan melalui media sosial.
M.Syafi’e memberikan perspektif hak asasi manusia, bahwa tindakan bullying secara jelas tidak sejalan dengan nilai hak asasi manusia. Harkat dan martabah korban otomatis hilang dan direndahkan oleh tindakan pelaku bullying. Dalam konteks “human rights” apapun kondisi fisik atau kenyataan yang melekat pada seseorang adalah anugerah Allah SWT, dimana keberadaannya wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan negara berkewajiban untuk melindunginya.
“Dalam HAM terdapat prinsip universal yang menegaskan bahwa hak melekat pada setiap orang karena kodratnya sebagai manusia tidak ada pembedaan warna kulit, ras, bahasa, agama, asal usul, dan status. Dalam persepektif ‘human rights’, terdapat prinsip ‘non diskriminasi’ yang bermakna seseorang yang diberlakukan berbeda, tidak diberi kesempatan yang setara karena alasan ras, warna kulit, perbedaan pandangan politik dan lainnya,” jelas M.Syafi’e.
Pada Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 berbunyi, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia. Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 berbunyi
M.Syafi’e menjelaskan, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajaht martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Jaminan terhadap harkat martabat seseorang diakui di semua instrumen hukum hak asasi manusia seperti dalam DUHAM, ICCPR, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan beberapan instrumen turunan yang lain. Sedangkan di dalam Al-Qur’an, beliau menyampaikan menegenai tindakan bullying dilarang yang disampaikan di surah Al-Hujurat ayat 11.
Sementara, Syarif Nurhidayat, S.H., M.Hum. dalam materinya menjelaskan mengenai pengaturan dan mekanisme penanganan perundungan di lingkungan UII. Menurutnya, tindakan bullying, perundungan, dan penindasan/risak berdampak pada akademik, sosial fisik dan emosi.
Sesuai dengan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, pelaku perundungan dapat diberikan sanksi berupa a) teguran lisan, tertulis atau sanksi lain yang bersifat edukatif kepada peserta didik, dan b) teguran lisan, tertulis, pengurangan hak, pemberhentian dari jabatan sebagai guru dan tenaga kependidikan.
Lebih lanjut disampaikan Syarif Nurhidayat, pengaturan perundungan di UII adalah pada PU No.1 Tahun 2019 tentang Disiplin Mahasiswa UII dan PU No.1 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Perbuatan Asusila dan Kekerasan Seksual. Pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang dijelaskan pada Pasal 3 huruf i, j, k, n, m, o, q, s, dan y PU No.1 Tahun 2019 tentang Disiplin Mahasiswa.
Perlindungan korban perundungan itu, lanjut Syarif Nurhidayat, antara lain dengan melakukan perlindungan hukum berupa jaminan norma dan mekanisme sanski pada pelaku perundungan, pendampingan hukum jika hendak dilanjutkan melalui jalur pidana, perlindungan keamanan informasi, perlindungan keamanan fisik yang sejauh dimungkinkan seperti misalnya ada sanksi pembatasan akses fasilitas kampus secara langsung, dan perlindungan berupa layanan kesehatan dan psikologis.
Dipaparkan Syarif Nurhidayat, mekanisme akses perlindungan dan/atau layanan korban adalah dapat melalui mekanisme pelaporan kepada Dekan atau Rektor dan melalui mekanisme akses layanan konseling di Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan. Menurut Syarif Nurhidayat, generasi milenial dan generasi Z lebih rentan depresi. Dengan begitu, terhadap tindakan bullying ini harus dicegah secara bersama-sama dengan pihak kampus. (FHC/RS)