Pembela HAM di Indonesia Berhak Mendapat Perlindungan
Persoalan tentang hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terus menjadi topik yang hangat dalam berbagai kesempatan. Pasalnya beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia kerap mengambang atau berujung vonis ringan bagi pelanggarnya. Hal ini mendorong Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII menyelenggarakan kajian “Dinamika Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia” pada Selasa (7/9). Acara ini menghadirkan M. Syafi’ie, S.H., M.H. yang juga Dosen Fakultas Hukum UII sebagai pemateri.
Syafi’ie mencontohkan beberapa kasus pembela HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Beberapa di antaranya, yaitu: kasus Munir yang dibunuh dengan racun saat penerbangan pesawat Garuda dari Singapura ke Belanda, kasus Marsinah yang dibunuh karena memperjuangkan UMR, kasus Novel Baswedan penyidik KPK yang matanya disiram oleh air keras, Prita Mulyasari yang dijerat UU ITE karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit OMNI Internasional, dll.
Dalam Deklarasi Pembela HAM Pasal 1 disebutkan setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan HAM dan kebebasan di tingkat nasional dan internasional. Dengan demikian, menurutnya, semua orang bisa menjadi pembela HAM tanpa harus menjadi seperti Munir.
“Selama kita bertindak dan mendorong perlindungan HAM, maka selama itulah kita akan dikenal sebagai Human Right Defenders atau pembela HAM,” ujarnya.
Selanjutnya, ia menyayangkan belum membaiknya situasi dan kondisi pembela HAM di Indonesia. Merujuk data lembaga Imparsial, di tahun 2003 saja ada sekitar 30 kasus kekerasan terhadap pembela HAM, di tahun 2004 terdapat 152 kasus. Sedangkan di tahun 2020 Komnas HAM mendapat aduan ada 9 kasus aduan tentang pembela HAM, dan di tahun 2021 Amnesty Internasional mengungkapkan ada 99 kasus serangan terhadap pembela HAM.
Adapun, bentuk-bentuk serangannya bermacam-macam, seperti ditangkap, ditahan, dijadikan tersangka, penganiayaan, penghilangan, pembunuhan, pembubaran kegiatan, pelecehan, penyerbuan, pengrusakan, dijadikan daftar pencarian orang (DPO), dll. Pembela HAM ini berasal dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa, aktivis LSM, guru, dosen, tokoh masyarakat, wartawan, petani, dll.
Di sisi lain, ia juga menemukan bentuk pembatasan terhadap aktivitas pembela HAM. Pertama, pembatasan hak yang diperlukan untuk melindungi dan memajukan HAM. Kedua, pembatasan dengan penggunaan aturan hukum karet, seperti pasal penghasutan, pasal pencemaran nama baik, UU ITE, dll. Ketiga, pembatasan dengan tindakan pembunuhan, penghilangan paksa, penganiayaan, penyiksaan, dan ancaman. Keempat, pembatasan dengan penggunaan stigma negatif terhadap pembela HAM, dianggap sebagai orang yang melawan negara, musuh negara, orang yang berhaluan kiri, dll.
Padahal jaminan hukum HAM di Indonesia telah diatur dalam Pasal 100-102 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 34 ayat (1) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, dll.
Untuk meningkatkan kesadaran dan perlindungan bagi pembela HAM Indonesia, ia berpendapat perlu diupayakan penghapusan aturan-aturan karet yang kerap mempidanakan pembela HAM. Selain itu, diperlukan juga regulasi kuat yang menjamin aktivitas dan kerja-kerja pembelaan aktivis HAM. Terakhir dibutuhkan penghukuman yang lebih berat terhadap pengancam, pembunuh dan pelaku kekerasan yang dilakukan terhadap pembela HAM. “Mestinya tidak boleh ada kriminalisasi terhadap para aktivis HAM, karena yang dia suarakan adalah terkait dengan hak asasi manusia,” pungkasnya. (EDN/ESP)