Pelemahan KPK Perburuk Upaya Pemberantasan Korupsi

Isu pelemahan KPK belum menemukan titik terang. Ditambah dengan polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berpotensi menyingkirkan 75 anggota KPK berdedikasi tinggi. Posisi lembaga anti rasuah itu pun kian tidak menguntungkan. Hal ini mendorong Ikatan Mahasiswa Magister Hukum (IMAMAH) FH UII menyelenggarakan diskusi daring bertema “Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia: KPK antara Ada dan Tiada?” pada Kamis (8/7). 

Mengawali diskusi, Feri Amsari, MH., LLM., sudah melihat ada kejanggalan sejak adanya perubahan UU KPK pada tahun 2019. Pasalnya, ketika ada penolakan dari masyarakat hingga kemudian Presiden menolak untuk menandatangani UU KPK ini, faktanya UU KPK tetap bisa diberlakukan. 

Menurutnya, jika presiden benar-benar tidak menyetujui perubahan KPK, seharusnya hal itu sudah dilakukan dari awal pembahasan dengan tidak membahas ke tahap selanjutnya. Alternatif lainnya, presiden juga bisa mengeluarkan perpu untuk membatalkan perubahan ini. Namun, presiden tidak melakukan itu.

“Sebenarnya publik juga ingin tahu di mana posisi presiden, apakah benar-benar ingin menghentikan perubahan UU KPK ini, atau hanya sekedar lip service? Ternyata dapat dilihat bahwa presiden juga menghendaki adanya perubahan UU KPK ini,”’ ujarnya.

Feri juga tidak sepakat dengan materi perubahan UU KPK yang mengubah kedudukan lembaga itu menjadi di bawah rumpun eksekutif. “Lembaga independen yang kita pahami dalam HTN itu memang dirancang untuk memerdekakan pimpinan dan pegawainya dari anasir-anasir kekuasaan lembaga lain. Jadi status KPK ini bermasalah jika masuk rumpun kekuasaan eksekutif,” ujarnya.

Sementara itu, Lalola Easter, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi political will pemerintah yang tidak pernah jelas terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Ia menilai tujuan awal pembentukan KPK sebenarnya bukan karena kerelaan dan kesadaran dari negara atau pembuat kebijakan waktu itu untuk benar-benar berbenah. Ketika KPK berdiri dengan adanya UU No. 30 Tahun 2002, masih terus banyak tantangannya hingga saat ini.

“Dulu kita mengira, mana mungkin ada penegak hukum yang berani menindak pejabat aktif pemerintahan seperti menteri, kepala daerah, dll. Tapi hal itu terbantahkan dengan adanya tindakan nyata KPK menindak para pejabat publik melakukan tindak pidana korupsi. Inilah yang kemudian menyebabkan banyak pihak yang merasa berkepentingan agar lembaga KPK lemah,” tambahnya.

Lalola menambahkan, selain KPK yang terus dilemahkan masih ada RKUHP yang pertarungannya masih berlanjut. Masyarakat harus terus waspada dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Karena, dalam hal ini menurutnya, presiden sebenarnya bukan tidak paham, tetapi justru membiarkan hal itu terjadi, seperti fenomena TWK, dll.

Terakhir, Asfinawati, Ketua YLBHI menduga peralihan pegawai KPK menjadi ASN sebagai bentuk pemberangusan serikat Wadah Pekerja (WP). Hal ini dapat dilihat pada fenomena TWK dimana diantara 75 orang pegawai KPK yang dibebastugaskan sebagian besar merupakan orang-orang yang cukup aktif dan kritis dalam WP. 

Berkaca pada regulasi dalam UU No 21 Tahun 2000 dalam Pasal 28 yang melindungi hak pegawai KPK untuk aktif dalam serikat pekerja, tentunya TWK tidak sepatutnya melanggar ketentuan ini.

Selain itu menurutnya, hasil TWK yang dirahasiakan, berbagai pertanyaan TWK yang tidak ada kaitannya dengan wawasan kebangsaan, dll, telah menunjukkan bahwa TWK ini merupakan litsus model baru. Setali tiga uang dengan menggolong-golongkan masyarakat menjadi ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Sehingga adanya TWK ini merupakan bentuk pelemahan KPK dan bentuk pertaruhan demokrasi Indonesia. (EDN/ESP)