Pelanggaran Integritas Akademik
Tahniah saya sampaikan kepada Prof. Unggul Priyadi. Beliau merupakan profesor ke-49 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia (UII) dan saat ini menjadi satu dari 45 profesor aktif di UII. Selamat juga kepada keluarga.
Mawas diri
Saya mohon maaf sebelumnya, apa yang akan saya sampaikan ini tidak ada maksud untuk membajak kebahagiaan yang terpancar hari ini. Sama sekali tidak. Saya ingin menggunakan momentum baik ini, untuk mengajak warga kampus, terutama UII, untuk mawas diri.
Dunia akademik Indonesia sedang berduka. Dalam beberapa bulan terakhir, beragam kisah pahit bermunculan ke permukaan. Termasuk di antaranya publikasi abal-abal di jurnal predator, pembatalan gelar profesor, obral gelar akademik, plagiarisme, dan sederet pelanggaran akademik lainnya.
Sebagian orang berpendapat, ini baru puncak gunung es. Gunungnya sendiri belum terlihat. Semoga pendapat ini salah. Jika pun benar, kita sudah tidak sangat kaget karena sudah diberi peringatan.
Bukan untuk menghibur diri, kasus serupa juga terjadi di banyak konteks lain. Misalnya, laporan yang diturunkan oleh Nature, jurnal ilmiah terkemuka, di akhir 2023, sungguh menyentakkan. Dalam setahun saja selama 2023, lebih dari 10.000 artikel jurnal ditarik (retracted) dari peredaran (van Noorden, 2023). Dalam laporan tersebut, disebut beberapa negara penyumbang terbesar artikel yang ditarik dalam dua dekade terakhir: Saudi Arabia, Pakistan, Rusia, dan Tiongkok.
Alasan penarikan artikel pun beragam, mulai dari pelanggaran akademik, dugaan pelanggaran akademik, plagiarisme, kesalahan, sampai dengan duplikasi publikasi (Steen, Casadevall & Fang, 2016).
Namun, ada perubahan pola sebab penarikan dari waktu ke waktu (Li & Shen, 2024). Di waktu lampau, penarikan terjadi karena alasan tradisional, yaitu tindakan individual yang terjadi kadang-kadang, seperti pabrikasi, falsifikasi, plagiarisme, dan duplikasi. Pada beberapa waktu terakhir, sebab penarikan (retraksi) artikel bertambah, termasuk reviu sejawat yang dipalsukan, pabrik artikel (paper mill) yang melibatkan jaringan atau sindikasi (lintas negara), dan penggunaan kecerdasan buatan secara tidak etis.
Posisi Indonesia
Indonesia memang tidak disebut dalam laporan terkait dengan artikel yang ditarik itu. Namun, artikel Macháček dan Srholec (2021) yang terbit di Scientometrics memasukkan Indonesia dalam daftar. Sekitar 16,73% artikel yang ditulis oleh peneliti Indonesia masuk ke dalam jurnal yang diduga predator. Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Kazakhstan.
Memang betul, artikel tersebut akhirnya ditarik secara sepihak oleh editor kepala, namun kedua penulis tidak setuju. Akhirnya, kedua penulis melakukan protes dengan mengirimkan ulang artikel tersebut ke jurnal lain. Artikel pun diterima untuk diterbitkan oleh Quantitative Science Studies pada 6 Agustus 2022 (Macháček & Srholec, 2022). Jurnal ini adalah outlet resmi International Society for Scientometrics and Informetrics (ISSI) yang diterbitkan oleh MIT Press Direct, sebuah penerbit bereputasi.
Kisah suram ini tentu sangat menyedihkan karena terjadi di kampus yang sejatinya menjadi pengawal integritas. Atau jangan-jangan saya yang salah, karena menaruh harapan terlalu tinggi terhadap warga kampus (termasuk saya sendiri), yang sejatinya tidak berbeda dengan elemen masyarakat lainnya. Namun, sikap fatalis ini, sudah diberi jawaban oleh Noam Chomsky (2017). Menurut Chomsky, warga kampus yang disebut para intelektual ini mempunyai tanggung jawab besar karena previlesenya sebagai kaum terdidik.
Jawaban dan dampak
Mengapa sampai terjadi pelanggaran integritas akademik? Beragam jawaban awal bisa diberikan.
Termasuk di antaranya adalah tekanan publikasi di tengah beban yang sudah tinggi, godaan iming-iming remunerasi yang disalahpahami, dan godaan potensi pendapatan bagi mereka yang terlibat dalam sindikasi (lihat misalnya Joelving, 2024). Selain itu, termasuk dalam potensi sebab adalah persaingan antarkampus yang salah kaprah di mana cacah publikasi menjadi salah satu indikatornya, dan pemaknaan yang berbeda-beda atas definisi integritas akademik. Dalam beberapa kasus, pelanggaran akademik murni karena ketidaktahuan, terutama untuk dosen pemula.
Apa dampaknya ketika pelanggaran integritas akademik dibiarkan? Salah satunya adalah normalisasi pelanggaran yang dianggap sebagai kewajaran.
Apa yang terjadi selanjutnya? Imajinasi liar kita bisa ke mana-mana, termasuk kompas integritas menjadi semakin tumpul dan kepercayaan publik terhadap kampus terus tergerus.
Tentu, ini bukan keadaan yang kita inginkan bersama.
Referensi
Chomsky, N. (2017). The responsibility of intellectuals. The New Press.
Joelving, F. (2024). Paper trail. Science, 383(6680), 252-255.
Li, M., & Shen, Z. (2024). Science map of academic misconduct. The Innovation, 5(2), 1-2.
Macháček, V., Srholec, M. (2021). Predatory publishing in Scopus: evidence on cross-country differences. Scientometrics, 126, 1897–1921.
Macháček, V., Srholec, M. (2022). Predatory publishing in Scopus: evidence on cross-country differences. Quantitative Science Studies, 3(3), 859–887.
Steen, R. G., Casadevall, A., & Fang, F. C. (2016). Why has the number of scientific retractions increased? PLoS ONE, 8(7): e68397.
Van Noorden, R. (2023). More than 10,000 research papers were retracted in 2023 — a new record. Nature ,624, 479–481.
Sambutan acara serah terima Surat Keputusan Jabatan Akademik Profesor atas nama Dr. Unggul Priyadi, M.Si., pada 6 November 2024