Pelajaran dari Peristiwa Perang Khaibar

Teknologi sangat membantu permasalahan di masa wabah Covid-19 ini. Terhalangnya komunikasi secara langsung, dapat diganti dengan komunikasi visual jarak jauh. Majelis ilmu atau pengajian pun juga tetap dapat digelar dengan memanfaatkan teknologi. Sebagaimana sering dilaksanakan oleh Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) yang secara rutin mengadakan kajian.

Pandemi bukan menjadi alasan untuk tidak semangat dalam berdakwah, melainkan belajar mengambil manfaat di balik peristiwa wabah. Selain pandemi, perang yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. juga memberikan banyak pelajaran di dalamnya, salah satunya saat awal perang khaibar seperti yang dijelaskan oleh Ustadz Sulaiman Rasyid, S.T. pada Kamis (25/6) melalui Google Meet.

Allah Swt. menurunkan ayat untuk memerangi Khaibar, dan menjanjikan kemenangan dalam peperangan tersebut. Untuk itu, Rasulullah Saw. bersama sahabat dari Hudaibiyah berjumlah 1600 pasukan dimana 200 di antaranya pasukan kuda langsung berangkat menuju Khaibar. Khaibar merupakan daerah yang sangat subur akan tanahnya dan banyak mata air, sehingga tak heran jika tumbuh pohon-pohon kurma di sana. Daerah tersebut ditempati oleh kaum Yahudi yang sedari dulu menyimpan dendam mendalam terhadap Islam.

Seruan untuk perang Khaibar dalam firman Allah Swt. Q.S. Al-Fath ayat 20 yang berbunyi: Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan menahan tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan menunjukkan jalan yang lurus.”

Firman Allah Swt. tersebut menjanjikan harga rampasan atau ghanimah yang banyak kepada kaum muslimin sebagai balasan atas jihad, keikhlasan, dan kesabaran mereka dalam menyebar ajaran yang benar. Sebelum peperangan, Rasulullah Saw. menyeru kepada para sahabat untuk melakukan perundingan atau rapat dengannya untuk membahas mengenai siapa yang harus membawa bendera perang. Rasulullah Saw. mengatakan, “Besok akan kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang mencintai Allah Swt. dan Allah Swt. juga mencintainya.

“Semua sahabat bergembira akan hal tersebut. Keesokannya setelah Subuh, sahabat sudah berkumpul di depan Rasulullah Saw. dengan berharap dirinya yang diserahi memegang bendera, begitu pula Umar bin Khatab duduk dengan memanjangkan lehernya (duduk tegap) agar terlihat oleh Rasulullah Saw. Umar mengatakan, demi Allah aku tidak pernah menginginkan jabatan kecuali pada hari ini juga.

Akan tetapi, Rasulullah Saw. dikala itu mencari Ali bin Abi Thalib dan bertanya, “dimanakah Ali?” Para sahabat menjawab bahwa Ali bin Abi Thalib sedang sakit mata dan sedang beristirahat. Rasulullah Saw. lalu memerintahkan beberapa sahabat untuk menjemputnya. Setibanya Ali bin Abi Tholib di depannya, Rasulullah Saw. menyerahkan bendera perang kepada Ali bin Abi Thalib dan berwasiat. “Ajaklah mereka ke dalam Islam sebelum engkau memeranginya. Sebab demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah kepada seseorang maka itu lebih baik daripada onta merah (harta bangsa Arab paling mewah waktu itu)” (HR. Muslim).

Setelah itu, Rasulullah Saw. bersama pasukan berangkat menuju Khaibar dengan rasa yakin akan menang berdasarkan janji Allah Swt. Meskipun mereka tahu bahwa Khaibar termasuk daerah yang kuat sebab dilapisi dengan dua lapis benteng dan persenjataan yang lengkap. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan seorang penggembala kambing. Lalu Rasulullah menghampirinya dan mengajaknya masuk Islam. Orang tersebut tertarik dengan Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.

Namun, penggembala tersebut bingung bagaimana cara mengembalikan kambing-kambing tersebut sebab dirinya menggembala kambing milik orang Yahudi. Ia takut jika ketahuan masuk Islam maka akan dibunuh. Rasulullah memerintahkan laki-laki tersebut untuk membaca Bismillah lalu memukul pipi di setiap kambing. Maka kambing-kambing tersebut pulang sendiri ke rumah pemiliknya.

Ustadz Sulaiman Rasyid mengatakan berdasarkan sepenggal kisah perjalanan perang Khaibar di atas, terdapat beberapa pelajaran yang dapat diambil, antara lain:

Pertama, menunjukan kebesaran dan janji Allah Swt. akan ditepati bahwa akan memberikan kemenangan dalam perang Khaibar tersebut. Sehingga sebagai seorang muslim, kita harus yakin dan optimis dalam melakukan setiap pekerjaan dengan hanya mengharap ridho Allah Swt. Begitu pula di masa pandemi, orang muslim harus yakin dapat menghadapi dan menyelesaikannya.

Kedua, berkorban dalam menunjukan jalan yang benar kepada orang lain. Perintah untuk segera memerangi kaum Yahudi di Khaibar menjadi contoh agar segera melakukan dakwah meskipun harus melalui media visual. “Sebenarnya kita ini yang butuh dengan dakwah, bukan dakwah yang butuh kita. Nikmat di balik dakwah luar biasa lebih besar daripada unta merah, belum bisa jadi pembicara kita bisa jadi panitianya,” ucap Ustadz Sulaiman Rasyid.

Ketiga, menghindari jabatan seperti Umar bin Khatab yang seumur hidupnya baru itu mengharapkan jabatan sebab kemuliaan perang Khaibar. Ustadz Sulaiman Rasyid mengungkapkan semakin tinggi jabatan maka semakin besar tanggungjawabnya dan makin berat hisabnya kelak. Umar bin Khatab ketika menjabat sebagai khalifah berkata, “demi Allah jika ada seekor keledai jatuh terperosok dari negeri Irak aku khawatir keledai itu akan menuntut hisab aku di hari kiamat.

”Waktu itu Umar bin Khatab tinggal di Madinah, sedang lubangnya di Irak. Begitu kehati-hatiannya seseorang dalam menerima jabatan, sebab mereka paham bahwa hisabnya berat. “Jadi janganlah bercita-cita mendudukan suatu jabatan, karena itu bukan cita-cita yang baik, sebab hisab Anda sangat berat,” jelas Ustadz Sulaiman Rasyid.

Keempat, mukjizat Rasulullah Saw. ketika menyuruh penggembala kambing memukul pipi kambing-kambing yang dibawanya dan mereka lalu pulang sendiri ke rumah pemiliknya.

Kelima, tidak melihat kepada siapa orang yang didakwahinya. Terlihat Rasulullah berhenti dan menghentikan perjalanan perang hanya untuk mendatangi seorang penggembala kambing. Rasulullah Saw. mendakwahi semua orang baik dari kalangan tinggi maupun bawah.

Keenam, menunjukkan keutamaan Ali bin Abi Thalib dimana bendera perang menunjukkan kecintaan Allah Swt. kepadanya dan sebaliknya. “Meskipun semua sahabat nabi cinta Allah dan Allah cinta mereka. Namun makna pekataan Rasul dan Allah mencintainya adalah keutamaan Ali bin Abi Thalib,” jelas Ustadz Sulaiman Rasyid.

Jika seseorang menginginkan Allah Awt. mencintainya, maka ia harus melakukan perintah-Nya. Seperti dalam firman Allah swt Q.S. Al-Imran ayat 31 yang artinya: Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Jadi bukan mengikuti ustadz kajian ini itu. Kebenaran selalu kembali kepada yang Allah firmankan dan Muhammad sabdakan. Ini kalau kita mencari kebenaran, beda kalau mencari pembenaran, menurut ustadz ini apa, udtadz itu bilang apa?” tutup Ustadz Sulaiman Rasyid. (SF/RS)