Patuhi Kode Etik Agar Terhindar Dari Tindak Pidana
Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LEM FH UII) menyelenggarakan webinar “Pengaruh Pengaruh Pelanggaran Kode Etik Penegak Hukum Terhadap Moralitas Calon Penegak Hukum” pada Kamis (27/1). Acara ini menghadirkan pemateri, diantaranya Budi Santoso, S.H., LL.M. (Dosen Etika Profesi Hukum FH UII) dan Raisal Nurul Fitri S.H., M.H. (Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo).
Budi Santoso menuturkan bahwa kode etik profesi hukum adalah kode etik profesi yang mengikat para penegak hukum, baik hakim, jaksa, pengacara, advokat, polisi, KPK, dll. Kode etik bagi profesi tidak hanya ditaati ketika dia melaksanakan profesinya, tetapi juga wajib ditaati dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurutnya, pada dasarnya kode etik profesi memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai perlindungan dan sebagai pengembangan bagi profesi. Profesi tidak semata-mata dijadikan sebagai pedoman bagi seseorang dalam bertingkah laku dan bertindak sesuai dengan profesinya, melainkan juga menjaga seseorang dari melakukan kesalahan atas profesinya.
Budi mengatakan kode etik memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi moralitas penegak hukum. Jika melihat pada skemanya, tindakan pelanggaran pidana oleh penegak hukum pada umumnya telah didahului dengan pelanggaran kode etik profesinya.
“Jadi jika terjadi pelanggaran pidana oleh penegak hukum, pasti sebelumnya telah terjadi pelanggaran kode etik profesinya. Ini berarti moralitas para penegak hukum itu sangat dipengaruhi oleh bagaimana organisasi profesi itu bertanggung jawab atas penegakkan kode etik profesi di organisasinya,” ungkapnya.
Sementara itu, Raisal Nurul berpendapat penegak hukum adalah profesi yang mulia dan terhormat. Profesi hukum menjalankan aktivitas hukum dan menjadi objek yang dinilai oleh masyarakat tentang baik buruknya upaya penegakkan hukum, walaupun menurutnya, faktor kesadaran hukum masyarakat sebenarnya juga sangat menentukan dalam upaya tersebut.
Sebagai seorang jaksa, profesinya tunduk pada ketentuan UU No. 11 Tahun 2021 Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa juga terikat dengan doktrin Tri Karma Adhyaksa.
Raisal mengatakan, seorang jaksa yang melakukan pelanggaran akan dikenakan hukuman, baik hukuman ringan, sedang, atau berat. Jenis-jenis hukuman tersebut, diantaranya: penurunan pangkat setingkat lebih rendah, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan fungsional jaksa, pembebasan dari jabatan struktural, pemberhentian dengan tidak hormat tidak atas perintah sendiri, dan serta pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Selain itu, ia mengatakan bahwa di dalam kejaksaan juga terdapat Satgas 53 yang bertugas sebagai pengontrol pelaksanaan kode etik dan perilaku jaksa. Satgas 53 ini memiliki tujuh program prioritas Kejaksaan RI, yang salah satunya adalah melakukan pengawasan dan penegakan disiplin untuk mewujudkan kejaksaan yang bersih dan profesional.
“Pada 21 Desember 2021, Satgas 53 Kejaksaan RI telah mengamankan oknum Jaksa di Kejati Nusa Tenggara Timur berinisial KM yang diduga melakukan perbuatan tercela. Selain itu, sebelumnya pada bulan Oktober, oknum Jaksa di Mojokerto juga diamankan oleh Satgas 53,” ujarnya.
Raisal juga menyatakan, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh profesi jaksa ke depan. Salah satunya yakni meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Integritas dan profesionalitas jaksa juga wajib dijaga, serta pengawasan dan penegakan disiplin internal harus terus diperkuat.
Terakhir, ia menyampaikan bahwa “Kejaksaan tidak butuh jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral dan kejaksaan juga tidak butuh jaksa yang cerdas tetapi tidak berintegritas. Tetapi kejaksaan butuh jaksa yang pintar dan berintegritas,” ucapnya mengakhiri materinya. (EDN/ESP)