Paradigma Baru Manajemen Bencana
Program Studi Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyelenggarakan Webinar Disaster Management pada Jumat (15/5).
Senior Professor of Civil Enggineering Department of UII dan Excecutive Coordinator of Streering Element of BNPB Republik Indonesia, Prof. Ir. Sarwidi, MSCE., Ph.D., AU., mengatakan bahwa manajemen bencana dalam BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menggunakan paradigma baru. Sebagai contoh dalam upaya penanganan gempa dapat dilakukan dengan penilaian bangunan di kawasan rawan gempa bumi. Hal ini dianggap penting untuk menilai kualitas bangunan yang ada di masyarakat.
“Dari penilaian tersebut, dapat kita ketahui tingkat kerentanan serta tindakan perbaikan yang perlu dilakukan. Serta melakukan rekomendasi kebijakan dan langkah untuk pemerintah di masing-masing kawasan,” jelasnya.
Micah R. Fisher, Ph,D. dari University of Hawai’i at Manoa USA. dalam paparannya mengatakan bahwa tujuan dari webinar adalah untuk mengetahui bagaimana cara menggabungkan antara ilmu-ilmu teknis dengan ilmu-ilmu sosial sehingga dapat efektif saat bekerjasama dengan masyarakat.
Adanya perubahan iklim dapat mengganggu aktivitas manusia dan dapat menimbulkan banyak biaya dalam adaptasi. Dibutuhkan keterlibatan masyarakat untuk menghadapinya. Perencana, pengorganisasian masyarakat, politisi lokal dan lainnya akan bekerja dengan masyarakat untuk membuat keputusan bersama dengan berupaya menjaga identitas sosial penduduk, keamanan finansial, dan keyakinan terhadap sesama warga negara.
Bagi setiap pelaku yang terlibat dalam pekerjaan ini, perlu memperhatikan beberapa dilema yang diprediksi akan muncul dan mempertimbangkan bagaimana mempersiapkan diri. Micah R. Fisher mengidentifikasi dalam lima dilema. Pertama, bagaimana cara menampilkan diri pada komunitas yang rentan sebagai mitra otentik.
Micah R. Fisher menekankan hal pertama yang terpenting adalah bagaimana kita melihat diri kita dan siapakah kita dalam kehidupan masyarakat. “Sangat penting untuk berkomunikasi tentang apa yang Anda lakukan di komunitas itu. Karena kita akan menemukan cara untuk membuat orang nyaman,” jelasnya.
Kedua. Menurut Micah R. Fisher, bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Setiap perencana, pengelola atau fasilitator komunitas harus memahami bahwa dalam memulai proses keterlibatan masyarakat kita adalah bagian dari sejarah keterlibatan atau tidak terlibat yang mungkin kita tidak tahu atau salah informasi. Setiap pertemuan yang tidak efektif, kesalahpahaman atau kurangnya tindak lanjut adalah bagian dari sejarah itu.
“Niat terbaik mungkin membuat Anda berada di pintu komunitas, tetapi pengalaman komunitas sebelumnya adalah bayangan yang tak terlihat yang terkadang termanifestasi dalam komentar kasar, lengan terlipat erat, dan pertanyaan agresif pasif,” ucap Micah R. Fisher.
Membangun kepercayaan bisa menjadi proses yang panjang, tetapi biasanya satu cara yang berhasil untuk memulai adalah dengan bersama-sama menetapkan harapan untuk proses tersebut, menjaga komitmen tentang hal-hal yang tampaknya kecil dan yang lebih besar. Percakapan berkelanjutan tentang implikasi ketidakpastian tentang perkiraan teknis dampak dan ketidakpastian tentang strategi menjadi sangat penting untuk menjaga kepercayaan.
Ketiga. Apa yang kita inginkan dari keterlibatan masyarakat. Mungkin kita berpikir akan menemukan sesuatu yang diinginkan setiba di komunitas, padahal kondisinya kadang berbeda. Menurut Micah R. Fisher, penduduk memiliki pengetahuan tentang komunitasnya. Misalnya, seberapa sering mereka kebanjiran dan daerah mana yang paling sering banjir. Tantangan kita sebagai orang luar adalah memikirkan pertanyaan apa yang akan membantu kita menambah pengetahuan dan memahami prioritas nilai mereka dalam pengembangan strategi adaptasi.
Kemudian yang keempat menurut Micah R. Fisher, bagaimana kita mendengarkan secara efektif makna dan pengertian. Beberapa komunitas memiliki sejarah ketidakadilan dan pengabaian publik yang kompleks. Sebagai orang luar, kita tidak dapat mengharapkan penghuni komunitas tersebut untuk segera terlibat dalam percakapan tentang risiko iklim, penilaian kerentanan, dan langkah-langkah adaptasi.
Micah R. Fisher mengatakan bahwa mereka ingin diakui, didengarkan, dan dianggap serius. Sebelum kita dapat melibatkan masyarakat tentang adaptasi iklim, keterlibatan yang efektif mengharuskan kita meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita-cerita tentang rasa sakit masyarakat dan memahami makna di balik rasa sakit itu.
Kelima. Kepada siapa kita bertanggung jawab dalam pelibatan masyarakat, apa sifat dari akuntabilitas itu. Micah R. Fisher memberikan contoh universitas yang mempekerjakan orang termasuk kita. Bekerja dalam jaringan kewajiban dan harapan formal dan informal yang diciptakan oleh kontrak, jadwal, kode etik profesi, tanggung jawab lain, dan norma yang baik harus dilakukan.
“Klien, seperti lembaga pemerintah, menginginkan jadwal dan anggaran yang dapat diprediksi. Kita tidak perlu menjelek-jelekkan anggaran yang menurun untuk penjangkauan masyarakat atau meromantiskan pekerjaan masyarakat untuk mengenali kendala-kendala ini nyata,” tambahnya. (SF/RS)