Pandemi COVID-19 Berdampak Terhadap Buruh Migran di Malaysia
Dampak pandemi COVID-19 dirasakan semua negara, tak terkecuali Malaysia. Ditengarai, pandemi ini akan memperburuk kondisi ekonomi Malaysia, bahkan lebih berat dibanding krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008. Bisnis akan banyak gulung tikar dan banyak buruh migran terpaksa akan kehilangan pekerjaan.
Demikian disampaikan Professor Mohd Nazari Ismail, Guru Besar di Fakultas Bisnis dan Akuntansi, Universiti Malaya, sebagai narasumber pakar dalam diskusi bertema “Dampak COVID-19 terhadap Masyarakat Malaysia” yang diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis (16/4).
Menurut Prof. Nazari, meskipun situasi ekonomi Malaysia pada saatnya nanti akan kembali normal, hal tersebut tidak sepenuhnya menjamin bahwa buruh migran akan memiliki kesempatan yang sama seperti beberapa waktu terakhir, karena masyarakat Malaysia akan cenderung tetap bekerja meskipun dengan upah yang mungkin lebih rendah.
Diskusi yang diselenggarakan secara daring tersebut dihadiri lebih dari 80 peserta yang terdiri atas mahasiswa dan dosen UII serta komunitas akademik umum. Diskusi dipandu oleh Geradi Yudhistira, Dosen Program Studi Hubungan Internasional UII. Turut hadir dalam diskusi tersebut, Professor Hanafi Hussin, Wakil Dekan Pusat Studi Pengembangan Sosial dan Kebahagiaan, Universiti Malaya.
Ditambahkan oleh Prof. Nazari, posisi lockdown di Malaysia saat ini sangat berdampak pada perekonomian negara tersebut. “Di satu sisi, warga Malaysia pada dasarnya menyadari lockdown itu penting karena alasan keselamatan, ada kelompok yang tidak keberatan lockdown. Namun ada juga yang merasa perlu untuk segera membuka bisnisnya kembali karena alasan ekonomi,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Bisnis dan Akuntansi Universiti Malaya hingga tahun 2015 tersebut.
Prof. Nazari sendiri meyakini generasi muda yang imunitasnya tinggi dan resiko terpaparnya rendah seharusnya tidak diperbolehkan bekerja karena mereka perlu menjamin keberlangsungan ekonomi dirinya.
Disampaikan Prof. Nazari, saat ini Pemerintah Malaysia mengeluarkan paket stimulus, bantuan langsung untuk masyarakat dan untuk bisnis dengan total 35 Milyar Ringgit. “Namun ini bukanlah bantuan yang sifatnya jangka panjang. Ini lebih agar pemerintah tidak kehilangan popularitas di mata masyarakat saja dengan alasan untuk meringankan beban masyarakat,” tambahnya.
Di masa mendatang, paket stimulus ini berpotensi menjadi masalah baru bagi Malaysia karena tingkat hutang yang tinggi negara tersebut. “Tidak menutup kemungkinan, setelah pandemi ini selesai, Malaysia akan menghadapi krisis yang mungkin lebih parah dari tahun 1930, dan akan terkena dampak lebih buruk dibanding negara tetangga, seperti Indonesia,” ungkap pakar ekonomi Malaysia tersebut.
Menurut Prof. Nazari, dampak ekonomi global yang buruk ini sesungguhnya karena sistem perekonomian yang didasarkan pada hutang. “Dari pandemi ini, perlu kita pikirkan secara serius di masa mendatang bagaimana mengubah model perekonomian negara-negara termasuk Malaysia agar tidak bergantung pada hutang,” tambahnya.
Sementara itu, Hangga Fathana, Ketua Program Studi Hubungan Internasional UII, menyampaikan bahwa diskusi daring ini dilaksanakan secara rutin setiap minggu selama masa kerja dari rumah berlangsung. “Kami berupaya menghadirkan perspektif global yang aktual dari berbagai negara untuk mewarnai pemahaman kita terhadap COVID-19, khususnya dari perspektif sosial,” ungkap Hangga.
Serial diskusi ini mengundang narasumber dari berbagai negara dan mengangkat tema dampak global COVID-19. Dalam diskusi mendatang, akan hadir narasumber pakar dari beberapa perguruan tinggi di Polandia, Thailand, Inggris, dan Jepang. “Sivitas UII dan masyarakat umum dapat hadir dalam diskusi dengan mendaftar melalui https://ir.uii.ac.id/conversation”, tambah Hangga menutup sesi diskusi.