Pancasila Sebagai Ideologi Paripurna
Puluhan tahun yang lalu, para pendiri bangsa dari latar belakang yang berbeda-beda berjuang merumuskan dasar negara Indonesia. Melalui perundingan panjang, yang menguras tenaga dan pikiran, lahirlah suatu pigam sakti yang kini menjadi dasar filsafat negara, state fundamental norm, telah menjadi civil religion atau moral publik, termasuk telah diakui sebagai haluan pembangunan negara yakni Pancasila.
Tidak hanya itu, Pancasila lahir untuk menjadi titik pertemuan yang terdiri dari latar belakang berbeda, serta menciptakan kemaslahatan bersama. Dasar ontologis Pancasila itu kehendak untuk mencari titik temu, titik persetujuan dalam kehidupan bangsa yang majemuk, dalalm rangka mencapai kemaslahatan bersama atau almaslahatul ammah.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) periode 2017-2018 Yudi Latief, Ph.D dalam Webinar Nasional bertajuk “Peran Umat Islam dalam Mengawal RUU HIP: Antara Ditunda atau Dibatalkan” yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan dan Pengembangan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (DPPAI UII), baru-baru ini.
Karenannya Kelima sila Pancasila itu sudah memiliki landasan yang sangat kuat sekali, baik dari sisi landasan ontologisnya, epistemologis, aksiologis, serta memiliki dimensi-dimensi yang sangat kuat, seperti dimensi historis, dimensi rasionalitas dan juga aktualitas.
Namun sungguh ironi, di tengah kondisi bangsa yang tengah berjibaku menghadapi suatu persoalan besar, hadir dari segelintir elit untuk mengubah dasar negara tersebut, melalui Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), yang menuai polemik di tengah masyarakat.
Yudi Latief menyebutkan bahwa masih banyak masalah dalam RUU HIP tersebut, mulai dari judul hingga pasal yang ada di dalamnya. Misalnya kata ‘Haluan’ yang merupakan judul RUU tersebut, memiliki arti yang sangat luas. “Haluan itu namanya directive principle, atau prinsip directif, jadi kalau Haluan Ideologi Pancasila itu maknanya prinsip directif,” jelasnya.
Pancasila tidak seharusnya dipandang secara parsial. Tetapi sebaliknya, Pancasila dilihat sebagai keseluruhan norma, keseluruhan filosofis, keseluruhan moral publik, keseluruhan kebijakan, pembangunan.
“Keseluruhan proses bernegara ini, tata kelolanya, tata nilainya, tata material, tata perundangan, semuanya ini wujud operasionalisasi dari Pancasila, jadi itu mustahillah kalau dengan judulnya kayak gitu. Haluan Ideologi Pancasila, mustahil diatur dalam satu undang-undang,” imbuh Yudi Latief.
Selain kata ‘Haluan’, menurut Yudi Latief kata ‘Ideologi’ juga masih bermasalah. Karena Pancasila tidak hanya dipandang sebagai ideologi, tetapi juga punya pengertian lain seperti dasar filsafat negara, state fundamental norm, civil religion atau moral publik, haluan pembangunan dan lainnya.
“Jadi menurut saya sebaiknya mungkin nggak usah di frame dalam ideologi, sebut saja Pancasila, atau badan sosialiasi Pancasila. Pancasila saja, jadi maknanya lebih luas, lebih ingklusif,” tandasnya.
Tidak hanya dari segi judul, hal lain yang tidak luput dari perhatian Yudi Latief adalah bagaimana proses perumusan RUU tersebut. Menurutnya, banyak pusat-pusat studi Pancasila yang tidak diikut sertakan sejak akademik draft.
“Jadi RUU ini tidak terlalu serius, RUU ini dibuat dan kelihatannya ingin kejar tayang, memanfaatkan momentum covid ini, sehingga akibatnya sangat prematur bukan hanya antara pasal bertentangan bahkan kalimat per kalimat tidak duduk (sesuai),” terang Yudi Latief.
Beberapa pasal yang cukup bermasalah besar menurut Yudi Latief antara lain seperti pasal 3, pasal 6 dan pasal 7. Di dalam pasal 3 tentang prinsip dasar negara meliputi ketuhanan, kemanusiaan, dan kesatuan misalnya. Padahal seharusnya ketuhanan, kemanusiaan dan kesatuan itu merupakan nilai dasar bukan prinsip dasar.
“Pertama disitu ada masalah harus dibedakan antara nilai dasar dengan prinsip dasar, kalau di sana disebutnya prinsip dasar padahal yang namaya ketuhanan, kemanusiaan, itu namanya nilai dasar harus dibedakan antara nilai dan prinsip. Kalau nilainya, nilai ketuhanan, kemanusiaan, yang ketiga itu bukan kesatuan, tapi kebangsaan,” jelas Yudi Latief.
Penegakan Hukum dan HAM
Indonesia merupakan negara demokrasi yang sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), dengan Pancasila sebagai dasarnya. Karena itu, Pancasila mengatur aspek-aspek bernegara, termasuk demokarsi dan HAM.
“Sebagai dasar negara, sebagai ideologi, Pancasila itu mengatur budi pekertinya negara, mengatur budi pekerti, bagaimana mengelola negara, sebagai kerangka ideal, sebagai kerangka instrumental,” jelas Dosen Fakultas Hukum UII, Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.
Menurut Suparman Marzuki, Pancasila meruapakan hal yang telah selesai, sudah diterima oleh masyarakat baik sebagai ideologi, sumber dari segala sumber hukum dan sebagainya, sehingga tidak perlu perubahan. Sebaliknya, yang dibutuhkan bangsa ini adalah bagaimana menegakkan pancasila, dengan menegakkan demokrasi, serta melindungi hak-hak masyarakatnya.
“Oleh karena itu yang dibutuhkan rakyat sekarang adalah kehadiran negara untuk menjaga, menegakkan Pancasila, dengan menegakkan demokrasi, melindungi, menegakkan hak asasi manusia. Itu yang paling penting bagi rakyat kebanyakan sebetulnya,” tuturnya.
Suparman Marzuki menyayangkan para elit negara yang seharusya fokus menangani pandemi Covid-19, menyelamatkan ekonomi dan kesehatan masyarakat, tetapi justru membuat RUU yang memicu ketegangan di tengah masyarakat.
“Yang kita tunggu adalah negara ini hadir untuk menegakkan demokrasi dan HAM, kalau itu berhasil ditegakkan oleh negara, maka pada dasarnya ia menegakkan Pancasila sebagai ideologi, pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan seterusnya,” tegas Suparman Marzuki yang juga pernah sebagai Ketua Komisi Yudisial. (D/RS)