Notariat Syariah Peluang dan Tantangan di Indonesia
Forum Mahasiswa Program Studi Hukum Islam Program Doktor Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII bersama Program Studi Hukum Islam Program Doktor dan Program Studi Ilmu Agama Islam Program Magister FIAI UII menyelenggarakan webinar nasional bertajuk Notariat Syariah Peluang dan Tantangan di Indonesia pada Sabtu (10/4). Webinar menghadirkan narasumber dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Drs. Syamsul Hadi, MS. Ak. Sementara opening speech disampaikan oleh Ketua Program Studi Hukum Islam FIAI UII Dr. Drs., Yusdani, M.Ag.
Dalam pemaparannya Syamsul Hadi mengemukakan bahwa dalam Surah Al-Baqarah ayat 282-283 banyak yang mengatakan bahwa isinya merupakan basis dari akuntasi syariah, namun bila dipahami lebih dalam lagi malah mengenai akuntasi hanya sedikit serta lebih banyak mengenai bisnis, bisnis tidak tunai, mencatat, penulisan tentang saksi.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya.
Syamsul Hadi menjelaskan penggalan arti dari Surah Al-Baqarah ayat 282 digunakan oleh syariah accounting untuk menjadi dasar bahwa inilah dasar Al-Qur’an dari akuntasi syariah. Kemudian arti dari bila kmu bermuamalah hendaklah menuliskannya dikembangkan menjadi syariah accounting bahwa transaksi muamalah berarti harus ditulis/ dicatat. Menurut Syamsul Hadi bahwa urusan syariah mau tidak mau harus kembali ke Al-Qur’an dan hadits.
Kemudian lanjutan arti dari ayat 282, “Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” Syamsul Hadi menjelaskan, jika kembali ke akta notaris, posisi notaris itu sebagai penulis, yang memperkuat dan yang menulis perjanjiannya, jadi pihak berutang dianggap sebagai lemah.
Penggalan berikutnya adalah mengenai saksi “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” Menurut Syamsul Hadi saksi adalah pegawai notaris itu, pegawainya penulis merupakan bagian dari penulis. Disini tuntutan Al-Quran jelas bahwa saksi merupakan orang lain.
Syamsul Hadi menyebut bahwa ayat tersebut biasa digunakan sebagai dasar pencatatan akuntasi. Akuntasi adalah pencabutan untuk pertanggungjawaban. Nila diresapi, aspek pertanggungjawaban sangat sedikit. Lebih banyak aspek perjanjian. Serta di awal penggalan ayat 282 merupakan sebuah perintah untuk menuliskan transaksi tidak tunai, yang kemudian timbul utang-piutang.
Syamsul Hadi juga mengemukakan bahwa mengenai perjanjian itu merupakan orang yang berutang mengimlakkan. Jika lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau tidak mampu mengimlakkan maka itu merupakan wali. Serta harus melaksanakan syarat saksi yakni 2 laki-laki atau 1 saksi dan 2 perempuan. Syarat saksi yakni 2 laki-laki atau 1 laki-laki dan 2 perempuan. Orang lain, bukan bagian dari Debitur, Kreditur maupun Penulis. Bersedia untuk “tidak mempersulit” (dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan). Serta para pihak sebagaimana dimaksud meliputi Debitur (Wali), Kreditur, Penulis (Notaris), dan Saksi.
Syamsul Hadi juga menanggapi tentang bagaimana praktik sekarang ini? Menurutnya saat ini perlu adanya notaris yang menjalankan profesinya dengan memasukkan ketentuan syariah Islamiyah. (FHC/RS)