Nilai Religi Penggerak Kemajuan Bangsa Berkeadaban
Pancasila sebagai idiologi terbuka yang memungkinkan keserasian makna Merdeka dan nilai Keadaban, harus terus menerus disegarkan dalam menjawab tantangan masa depan. Dengan landasan Pancasila, pendidikan ilmu hukum memperoleh landasan spriritual, moral dan etik, yang bersumber pada kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa yang berkebudayaan. Hal ini memungkinkan nilai-nilai religi dapat menjadi penggerak kemajuan bangsa yang berkeadaban menuju tataran baldatun thoyyibatun wa rabbun ghaffur.
Hal tersebut disampaikan Gubernur D.I. Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X yang hadir sebagai keynote speaker pada acara Dialog Kebangsaan’ Indonesia Merdeka, Indonesia Beradab’, di Auditorium Prof. Dr. Abdulkahar Mudzakir UII, Rabu (5/9). Dialog kebangsaan digagas oleh UII sebagai Ikhtiar dalam merawat tenun kebangsaan.
Disampaikan Sultan, sejalan dengan paham kebangsaan kita menentang segala bentuk eksploitasi dalam praktik hukum. Sebab sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengajarkan penghormatan atas harkat manusia dan menjamin hak-hak azasinya. Persatuan yang bersumber pada Pancasila, juga menentang dominasi dan diskriminasi dalam sistem perundang-undangan.
“Azas kedaulatan Rakyat jelas-jelas menetang segala bentuk tindakan totaliter dalam praktik hukum. Sehingga ilmu maupun praktik hukum pun juga menjadi wahana mewujudkan masyarakat berkeadilan yang dituntun oleh Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia,” tutur Sultan.
Menurut Sultan, orang bijak mengatakan bila ingin membangun harus dimulai dari bawah, dengan memperkuat struktur fondasinya, tetapi bila ingin “bersih-bersih” harus mulai dari atas. “Kondisi kritis sekarang ini memerlukan gerak dua bidang sekaligus. Mengkokohkan fondasi Negara, yakni UUD 1945, sekaligus melakukan pembersihan dari segala bentuk KKN yang harus dimulai dari bangunan teratas,” paparnya.
“Ibarat Sphinx penjaga piramida sosok manusia setengah dewa dari legenda Mesir Purba berbadan singa berkepala manusia, yang dalam proses salin rupa akan lebih mudah menjadi manusia. Daripada raksasa dalam pewayangan jawa, yang berbadan manusia berkepala hewan, dengan segala naluri hewaniahnya,” Sultan menambahkan.