Nilai-Nilai Pendidikan di Balik Isra Mi’raj
Isra’ Mi’raj menyimpan banyak hikmah dan ibrah bagi orang-orang yang berakal sehat. Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram di Mekkah ke Masjid al-Aqsha di al-Quds, Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah naiknya Rasulullah SAW menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak bisa dijangkau oleh semua makhluk, malaikat, jin dan manusia. Dan perjalanan itu berlangsung hanya semalam (Said Muhammad Ramadhan al-Buthy, Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyah, Kairo: Dar al-Salam, 2012, hlm. 108).
Di balik keagungan mu’jizat ini, ada nilai-nilai pendidikan yang patut untuk direnungkan dan diaplikasikan. Demikian dikemukakan Kepala Divisi Pendidikan & Dakwah Direktorat Pembinaan dan Pendidikan Agama Islam UII, Junaidi Safitri., S.E.I., M.E.I. dalam pesan tertulis yang diterima Bidang Humas UII, Senin (23/3). Tahun ini umat Islam kembali memperingati peristiwa Isra Mi’raj pada 27 Rajab 1441 H yang jatuh bertepatan dengan hari Minggu (22/3).
Junaidi Safitri menjelaskan, sejarah mencatat bahwa keesokan harinya Rasullah SAW menceritakan peristiwa itu kepada penduduk Mekkah. Namun berita ditolak mentah-mentah oleh Abu Jahal dan para pengikutnya. Mereka justru menertawakan Rasululah dan mengolok-oloknya. Menurut mereka, perjalanan Nabi di malam hari itu tidak masuk akal. Sebaliknya, ada manusia cerdas seperti Abu Bakar yang bisa menerima kebenaran peristiwa itu tanpa banyak berpikir dan ragu.
Dengan tegas ia mengatakan “Jika memang benar Muhammad yang mengatakannya, dia telah berkata benar, dan sungguh aku akan membenarkannya lebih dari itu.” Atas keyakinannya yang teguh itu Abu Bakar kemudian diberi gelar al-Shiddiq yang berarti orang yang jujur dalam keimanan (Muhammad al-Khudari, Nur al-Yaqin, Beirut:Dar al-Fikr, 2001, hlm. 59)
Junaidi Safitri menegaskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj adalah momen yang baik untuk memperkuat aqidah umat Islam. Para pendidik Muslim harus melahirkan manusia-manusia beradab seperti Abu Bakar al-Shiddiq. Manusia-manusia yang keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya tidak menyisakan keraguan sedikitpun. Manusia yang memahami cara menggunakan akal dengan benar agar tidak berpikir nyeleneh.
“Bukan manusia yang “sok kritis” karena terlalu mendewakan akalnya yang lemah. Bukan manusia yang hilang keyakinannya karena “bertaqlid” kepada orang-orang Barat-Sekular yang bertentangan dengan pandangan alam Islam (Islamic Worldview),” paparnya.
Selain masalah aqidah, seperti dijelaskan Junaidi Safitri, Isra’ Mi’raj juga mengandung pendidikan ibadah. Dalam hal ini tentu saja tentang pentingnya mendirikan shalat. Sebab shalat adalah hadiah dari Allah SWT di malam Isra’ Mi’raj itu. Ibadah shalat adalah Mi’rajnya orang-orang mukmin. Isra’ Mi’raj adalah evaluasi ibadah shalat kita.
“Apakah shalat kita sudah benar, sesuai syarat, rukun dan adabnya? Apakah kita sudah istiqamah mendirikan shalat secara berjama’ah? Apakah keluarga kita sudah mendirikan shalat? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang harus dijawab terkait shalat yang kita laksanakan,” tutur Junaidi Safitri.
Lebih lanjut dipaparkan Junaidi Safitri, Allah SWT memerintahkan kita sekeluarga mendirikan shalat dan bersabar dalam mendirikannya (QS Thaha:132). Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan para orangtua agar memperhatikan masalah shalat sejak dini. Orangtua wajib mendidik anak-anaknya untuk mendirikan shalat sejak usia tujuh tahun. Bahkan orangtua diizinkan mendidik anaknya dengan pukulan jika mereka meninggalkan shalat ketika sudah berusia sepuluh tahun (HR Abu Daud).
“Atas dasar itu, para ulama seperti Imam al-Ghazali menjadikan shalat sebagai kurikulum inti dalam mendidik anak (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, Kairo:Dar Mishr li al-Thiba‘ah, 1998, Juz II, hlm. 91),” terangnya.
Junaidi Safitri menegaskan, perhatian terhadap pendidikan shalat ini harus lebih diutamakan daripada sekedar kemampuan membaca dan menulis. Jika orangtua khawatir anak-anaknya belum bisa membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar, maka orangtua harus lebih khawatir jika anaknya belum mendirikan shalat padahal mereka sudah di perguruan tinggi. Sebab anak adalah amanah, dan setiap amanah akan dituntut pertanggungjawabannya.
Junaidi Safitri menambahkan, buah yang diharapkan dari ibadah shalat ini adalah akhlak yang baik. Sebab Allah SWT menyatakan bahwa shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut:45). Banyak akhlak yang mulia di dalam shalat. Di dalam shalat kita dididik untuk menjadi orang yang cinta kebersihan, memakai pakaian yang beradab, disiplin waktu, siap memimpin dan dipimpin, rendah hati, menjaga persatuan, menebarkan kedamaian (salâm) kepada sesama dan sebagainya. Akhlak-akhlak mulia seperti ini hanya akan muncul dari orang-orang yang telah mendirikan shalat dengan benar, istiqamah dan ikhlas.
Dan yang tidak boleh dilupakan, Isra’ Mi’raj juga memberi isyarat pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat Islam harus meningkatkan semangat menuntut ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain dan fardhu kifâyah. Ilmu-ilmu syariah dan ilmu-ilmu umum. Sebab bangkitnya peradaban harus didahului bangkitnya tradisi ilmu.
“Umat Islam merindukan sosok ulama sekaligus ilmuwan seperti Ibn Haytham, al-Biruni, al-Khawarizmi dan sebagainya. Mereka semua bukan tokoh yang turun dari langit. Tapi tokoh yang lahir dari proses pendidikan yang Islami dan terintegrasi antara ilmu dan adab,” tandas Junaidi Safitri.
“Peristiwa Isra’ Mi’raj tidak akan terulang kembali. Tetapi semangat itu harus tetap menyala. Yaitu dengan memanfaatkan waktu, khususnya waktu malam dengan ilmu dan amal agar peradaban Islam bisa Mi’raj mengungguli peradaban lainnya.Wallâhu a’lam bi al-shawâb,” pungkasnya. (RS)