Netralitas ASN, TNI, dan Polri Diharapkan dalam Penyelenggaraan Pemilu
Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyampaikan gagasannya merespons isu aktual. Gagasan kali ini dikemas dalam Podcast Lexi: Social Justice dengan tema “Legal Talk: Netralitas ASN, TNI, POLRI, dan Penyelenggaraan Pemilu 2024”.
Podcast pertama yang tayang di kanal YouTube Fakultas Hukum UII pada Jum’at (19/1) ini menghadirkan ahli di bidang Hukum Administrasi Negara, Prof. Dr. Ridwan, S.H., M.Hum. Jalannya podcast dibersamai oleh Dekan FH UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.
Netralitas bagi ASN, TNI, maupun Polri menjadi suatu keharusan yang mana tidak boleh terlibat dalam hal lain seperti Pemilu. Prof. Ridwan menyebutkan bahwa ini adalah konsekuensi yang diambil dari pilihan itu, sebagai abdi negara yang mengabdi dan bertugas melayani publik.
“Makna dari netral ini adalah tidak boleh ikut-ikutan orang yang sedang bersaing menuju ke arah kekuasaan itu,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum UII tersebut.
Netralitas bagi ASN, TNI maupun Polri berlaku sepanjang masih berdinas atau memakai pakaian dinas. Ia tidak diperkenankan memakai pakaian lain. Hal ini bermakna selama seseorang menjadi fungsionaris pada institusi publik ada beberapa asas dan norma yang harus dipatuhi salah satunya untuk tidak menjalankan hal lain seperti partai politik (parpol) karena sudah terikat oleh kode etik dan norma.
Prof. Budi Agus Riswandi sebagai moderator menyebutkan bagaimana realitas fenomena yang terjadi, pelanggaran netralitas di Pemilu 2024 bisa tembus dalam 10.000 kasus. Ia mengkritik hal ini karena menyalahi aturan netralitas.
Lebih lanjut Prof. Ridwan memaparkan bahwa aturan netralitas ASN sudah tertera dalam Disiplin ASN/PNS No. 94 Tahun 2021, bahwa keterlibatan dalam kegiatan yang bersifat politik dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin berat. Ia menambahkan dalam UU No. 20 Tahun 2023 Tentang ASN tercantum mengenai sanksi berat yang berupa pemberhentian dengan tidak terhormat.
Lebih lanjut, Prof. Ridwan memberikan kritik terhadap petinggi dari ASN yang cawe-cawe sehingga memberikan contoh yang buruk bagi bawahannya, yang kemudian dibandingkan dengan netralitas TNI.
“Jangan sampai meniru yang buruk itu. Saya melihat netralitas TNI itu, saya salut dengan isi yang dicanangkan untuk periode Pemilu 2024, ada 5 poin itu,” ungkap. Prof. Ridwan.
Pertama, netralitas itu tidak memihak atau memberi dukungan pada pihak parpol manapun, atau peserta pasangan calon (paslon) yang diusung serta tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.
Kedua, tidak memberikan fasilitas tempat sarana dan prasarana milik TNI kepada paslon dan parpol untuk digunakan sebagai sarana kampanye. Ketiga, keluarga prajurit TNI yang memiliki hak pilih/hak individu sebagai warga negara dilarang memberikan arahan dalam menentukan hak pilih.
Keempat, tidak memberikan tanggapan, komentar, dan mengunggah apa pun hasil quick count sementara yang dikeluarkan oleh lembaga survei. Kelima, menindak tegas prajurit TNI dan PNS yang terbukti terlibat.
Prof. Ridwan menjelaskan, dalam Pemilu proses dan etika harus sesuai dengan hukum. Sementara hukum tidak hanya yang tertulis saja, melainkan aturan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus sesuai dengan tugas dan fungsinya, serta bagaimana ia berperilaku.
Senada disampaikan Prof. Budi, bahwa etika, aturan, lembaga yang ada sebenarnya sudah memadai, tetapi ketidaknetralan dari para pemimpin ASN dan jajaran di bawahnya tidak melihat nilai-nilai hakiki.
“Nilai hakiki sebagaimana untuk keadilan, kesejahteraan masyarakat, pengabdian, dan kemitraan. Harapan untuk pemimpin menjadi contoh yang baik, terkhususnya dalam Pemilu 2024,” tutur Prof. Budi. (FAP/CWN/RS)