Nakes Tidak di Garda Terdepan
Tenaga kesehatan (nakes), tenaga medis dan paramedis, memainkan peran yang sangat penting dalam penanganan pandemi Covid-19. Kita sudah selayaknya angkat topi untuk mereka sebagai tanda takzim.
Benteng terakhir
Mari tempatkan nakes sebagai benteng pertahanan terakhir di kala pandemi ini. Mereka bukan pasukan yang berada di garda terdepan, seperti narasi publik yang beredar saat ini. Tidak ada yang salah dengan narasi ini, tapi ini bisa memunculkan kesadaran yang keliru.
Alam bawah sadar sebagian kita akan mengatakan: “Kita punya nakes yang berada di garda terdepan. Kita aman. Mari, kita tetap menikmati hidup: rekreasi dan bercengkerama di tengah kerumunan.” Beragam berita pembubaran keramaian dan kerumuman warga oleh aparat, menjadi bukti empiris.
Bayangkan kalau kita tidak menambah kerepotan para nakes di puskesmas dan rumah sakit. Tanpa pasien terpapar Covid-19 pun, mereka sudah mempunyai banyak pasien yang membutuhkan bantuan. Pasien Covid-19 akan menambah beban mereka, meski penulis sangat yakin mereka, para nakes, akan melakukannya dengan sepenuh hati. Nakes berhati mulia di kala seperti ini, jika tidak dapat terlibat aktif, akan terasa teriris hatinya dan lunglai nuraninya.
Benteng pertahanan terakhir itu kadang jebol karena pasien atau keluarga pasien tidak jujur. Pasien ini ibarat Kuda Troya yang digagas Odysseus untuk menjebol dan menaklukkan Kota Troya, dalam mitologi Yunani, yang langsung menyerang ke jantung pertahanan. Beberapa yang terpapar dan meninggal merupakan nakes yang tidak berada di ruang isolasi dengan protokol ketat dan bahkan direktur rumah sakit.
Garda terdepan
Lantas, siapa yang berada di garda terdepan? Kita. Ya, kita. Kita adalah bak para bidak yang menahan serangan terhadap raja dan ratu dalam permainan catur. Ketika garda terdepan terkoyak, karena bidak tidak hati-hati dalam melangkah, raja dan ratu akan berada dalam ancaman. Tenaga medis adalah para raja dan ratu yang harus kita lindungi.
Caranya? Inilah saatnya, semua orang bisa mengambil peran untuk menyelamatkan umat manusia, termasuk dengan berdiam diri di rumah, menikmati waktu bersama keluarga. Jika terpaksa atau panggilan tugas mengharuskan keluar rumah, pastikan untuk menyiapkan: imunitas yang tinggi, istikamah dalam menjaga jarak fisik, menjaga kebersihan tangan, tidak latah mengusap hidup, mulut, dan mata, serta mengenakan alat pelindung diri yang mencukupi (seperti masker).
Sebagian dari kita mungkin merasa hebat, mempunyai imunitas yang baik.Tetapi jangan lupa, di rumah, ada orang tua dan anak kecil, orang-orang terkasih, yang rentan terpapar virus. Jangan egois. Setiap risiko paparan, harus diperhitungkan, karena frasa “memutar ulang waktu” hanya ada di kamusnya Doraemon. Pertimbangan matang selalu muncul di depan. Kalau di belakang, namanya penyesalan.
Dekatkan jarak sosial
Satu hal lagi, terakhir tetapi bukan afkir. Yang diperlukan saat ini adalah menjaga jarak fisik, bukan menjaga jarak sosial. Frasa dalam imbauan WHO sudah direvisi. Secara sosial justru kita harus saling mendukung dan menguatkan. Yang kuat, bantu yang lemah. Yang berpunya, sisihkan sebagian hartanya untuk yang papa. Sisihkan juga sebagian untuk penyediaan alat pelindung diri dan perangkat pendukung kesehatan lain, untuk nakes dan warga yang membutuhkan.
Tidak kalah penting, mari sebarkan semangat optimisme yang terukur, bukan optimisme yang meninabobokan, dan sebaliknya, bukan pula pesimisme yang menggerus energi positif. Hentikan juga mengirim informasi yang menyesatkan atau meningkatkan kegalauan di media sosial. Gantilah dengan pesan positif: kitalah yang berada di garda terdepan, untuk melindungi orang-orang terkasih yang rentan, dan para nakes yang menjaga benteng pertahanan terakhir.
Selain menunaikan beragam ikhtiar, mari jangan lelah mengetuk pintu langit, dengan iringan doa, semoga wabah ini lekas sirna dari muka bumi. Setelahnya, kita akan sambut wajah yang sumringah, hati yang tawaduk, dan rasa kesetiakawanan sosial yang mengental. Kengerian akan terurai, rasa jumawa bakal sirna, dan egoisme segera tergerus. Insyaallah.
Tulisan ini telah dimuat di Republika online, pada 16 April 2020, dengan judul sedikit berbeda.