Muhasabah Akhir Tahun Sebagai Upaya Penyucian Jiwa

Menjelang pergantian tahun, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) dan Takmir Masjid Ulil Albab menggelar pengajian akbar ‘Muhasabah Akhir Tahun Sebagai Upaya Penyucian Jiwa’ pada Jum’at, (20/12) di Masjid Ulil Albab, Kampus Terpadu UII.

Refleksi diri biasanya lebih mudah di waktu malam hari, Karena malam biasanya identik dengan sifat feminis, sedangkan siang terdapat sifat maskulin. Ungkap Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. membuka kajian.

Nasaruddin menerangkan bahwa keterkatian sifat tersebut timbul berdasarkan jenis aktivitas. “Siang hari orang memiliki aktivitas yang tinggi, menguras tenaga dan sebagainya, namun di malam hari, aktivitasnya biasanya adalah istirahat dan relaksasi. Maka dari itu waktu malam lebih dekat dengan aktivitas refleksi,” tutur Nasaruddin.

Mengutip ayat pertama surah Al-Qadr yang artinya ‘Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar’, Nasaruddin menyebutkan bahwa banyak peristiwa sakral yang terjadi pada malam hari seperti turunnya Al-Qur’an pada malam lailatul qadr, dan pelantikan Nabi Muhammad menjadi Rasul.

Nasarrudin juga menjelaskan bahwa kata ‘Al-Lail’ dapat juga bermakna kerinduan, kehangatan, ataupun kesejukan. “Kecerdasan emosional dan spiritual justru lebih mudah timbul pada malam hari karena mudahnya keheningan tercipta,” paparnya.

Langkah awal refleksi adalah memutuskan untuk bertaubat. “Taubat sendiri berarti kembali. Kembali kepada apa? kepada Shirat al-Mustaqim (jalan yang lurus),” tutur Nasaruddin mengutip salah satu frasa pada surah Al-Fatihah.

Ia mengungkapkan setidaknya taubat adalah upaya untuk kembali ke standar utama dalam membersihkan diri. Lebih lanjut Nasaruddin mengkaji ulang kebiasaan yang kerap dilakukan Rasulullah SAW. yakni berdo’a dan bertaubat.

“Beliau (Rasulullah) seringkali berdo’a dan bertaubat bukan karena terbebas dari dosa, tetapi karena taubat adalah bentuk kerinduan pada Allah SWT. Jadi jangan takut (untuk kembali),” pesannya.

Dalam proses refleksi diri dan bertaubat, acap kali menimbulkan ingatan tentang apa yang telah diperbuat. Nasaruddin mengajak jamaah yang hadir untuk senantiasa bersyukur. “Ada dua tingkatannya. Yang pertama syukur yang mensyukuri segala nikmat Allah SWT. yang telah diperoleh. Sedangkan yang kedua adalah syakur, mensyukuri apa yang datang dari Allah SWT. termasuk musibah, sehingga tidak ada kecurigaan terhadap-Nya,” jelas Nasaruddin.

“Oleh karena itu, biasanya dia (orang yang ada pada tingkatan syakkur) adalah orang yang sabar, ia tidak dengan sengaja melakukannya, tapi sudah menjadi kebiasaan untuk senantiasa bersabar,” imbuhnya.

“Biasanya do’a kita berkualitas pada saat berada pada zona nyaman atau zona sulit,” tanya Nasaruddin di hdapan jamaah yang memadati Masjid Ulil Albab malam itu. “Terkadang zona nyaman dan kenikmatan bisa begitu membutakan. Kita lupa untuk bersyukur dan tetap berdoa di kala zona nyaman maupun zona sulit dengan kualitas do’a yang sama baiknya,” tuturnya.

Terakhir Nasarrudin berharap segenap jamaah yang hadir dapat ’naik kelas’ melalui muhasabah dan refleksi diri. “Mari kita (dengan upaya) fullpower menyambut 2020,” tutur Nasaruddin menutup kajian dan dilanjutkan dengan do’a bersama. (IG/RS)