Moderasi Beragama Untuk Merawat Persatuan Indonesia
Dalam interaksi antar umat beragama, tidak jarang terjadi miskomunikasi yang menimbulkan gesekan konflik. Oleh karenanya, memperhatikan etika bermasyarakat dan menjauhi hal yang menimbulkan konflik perlu dilakukan.
Hal inilah yang dikemukakan Dosen Prodi Ilmu Agama Islam Program Magister Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Dzulkifli Hadi Himawan, Lc, M.Kom.I., Ph.D dalam Seminar Nasional Agamawan Muda, Dan Masa Depan Kebangsaan Sesi ke-2, pada Kamis (25/02) secara daring.
Kegiatan bertema “Agamawan Muda, Ujaran Kebencian dan Masa Depan Kebangsaan” ini merupakan bentuk kerja sama prodi Ilmu Agama Islam Program Magister, prodi Hukum Islam Program Doktor, dan Pusat Studi Islam UII.
Dzulkifli Hadi Himawan menjelaskan moderasi dakwah memiliki arti yaitu mengajarkan agama (keyakinan) dengan jalan yang santun (hikmah), tidak dengan perilaku (perbuatan atau perkataan) ekstrim atau kekerasan. Tujuannya untuk merawat persatuan dan memajukan bangsa.
“Niat untuk membangun bangsa dan menumbuhkan sifat nasionalisme haruslah dimiliki agamawan muda dalam mengajarkan agama. Selain itu, sebagai masyarakat bernegara kita berusaha untuk menyebarkan manfaat dengan mengoptimalkan potensi dan saling gotong royong menjaga persatuan”, imbuhnya.
Ia menyebutkan dalam berdakwah terdapat tiga konsep. Pertama, dakwah bil hikmah yaitu dinamis atau adaptif di setiap masa dan mampu memberi solusi atas permasalahan umat bukan menambah masalah. Kedua, mauizhah hasanah yaitu memberikan nasehat baik yang didahului dengan keteladanan. Ketiga, wa jadilhum billati hiya ahsan yaitu berdebat atau dialog. “Berdebat bukan cara untuk berdakwah, tetapi debat artinya disini adalah mengedepankan diskusi untuk memecahkan masalah,” jelasnya.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Pendeta Fredrik Y.A Doeka, menyorot media sosial yang menjadi ranah untuk menyampaikan ujaran kebencian. Ujaran kebencian memiliki dampak kuat dalam menghancurkan persatuan Indonesia. Maraknya berbagai hoax yang mendorong peningkatan kebencian di ranah publik menjadikan masyarakat terbelah.
“Jika perkembangan pesat media sosial dipakai secara keliru, terlebih mengungkapkan kebencian terhadap agama lain dengan berita hoaks maka kehancuran Indonesia sebagai suatu bangsa tidak dapat dielakkan,” ujarnya.
Sedangkan Niken Wardhani memaparkan kontribusi agamawan muda dalam memerangi ujaran kebencian itu. Dalam perspektif Buddhism, agamawan berperan menyebarkan keyakinan agama, mengikuti atau menjalankan ajaran agama dengan benar, melindungi ajaran agama dari kehancuran, membagikan kebahagiaan kepada semua orang.
Menurutnya, sangat penting adanya edukasi kepada masyarakat sesuai dengan ranah masing-masing melalui ceramah, kegiatan keagamaan, literasi, dan pengabdian masyarakat.
“Kebebasan berpendapat dan berekspresi bukan tanpa batasan. Salah satu bentuk kontrol adalah norma-norma. Ada norma agama, norma hukum dan norma adat. Norma adat dalam Jawa terdapat suatu istilah berbunyi ajining diri gumantung ing lathi, yang artinya kehormatan atau kewibawaan diri terletak pada lidah (ucapan). Sehingga seseorang dihargai atau tidak tergantung pada ucapannya,” pungkasnya.
Terakhir, Miftah Fauzi Rakhmat mengemukakan maksud dari kalimat husna di dalam Al-Qur’an adalah kebaikan. Kebaikan tolok ukurnya bukan pada pelaku kebaikan akan tetapi pada penerima kebaikan. Ukuran kebaikan itu bukanlah yang baik menurut si pemberi, tapi apa yang baik diterima oleh orang lain.
“Hal yang harus diketahui bagi agamawan muslim yaitu Islam yang rasional dan spiritual, mengedepankan pemikiran generasi muda yang kritis terhadap kebathilan termasuk teks-teks keagamaan. Kritis dalam artian terus selalu belajar, bahkan bagi yang sudah dianggap mapan pemahamannya,” pesannya. (HA/ESP)