Misi Arsitek dan Ragam Respons

Selamat kepada para arsitek muda atas pencapaiannya dalam menyelesaikan pendidikan profesi arsitek di Universitas Islam Indonesia, dan hari ini mengikuti wisuda profesi dan janji arsitek. Semoga ini menjadi awal baik dengan hentakan kuat yang mendorong Saudara berkarya dengan tekun, yang akhirnya akan mengantarkan Saudara menjadi arsitek profesional mandiri yang akan diambil sumpah profesinya oleh Dewan Arsitek Indonesia (DAI).

 

Misi desainer

Sampai saat ini saya masih percaya, bahwa yang dibangun seorang desainer, termasuk arsitek, bukanlah gedung atau ruang lain, tetapi afordans (affordance). Artefak yang dihasilkan oleh desainer sudah seharusnya menghadirkan afordans, kemungkinan-kemungkinan tindakan (action possibilities), yang dapat dilakukan ketika seorang aktor berinteraksi dengan artefak arsitektural.

Ketika konsep ini disepakati, maka konteks akan sangat mempengaruhi nilai yang akan disuntikkan oleh desainer dan juga kemungkinan deviasi penggunaan artefak tersebut. Nilai desain sebuah artefak tidak selalu dipahami dan direspons yang sama oleh beragam aktor.

Situasi pandemi dan pascapandemi nanti, dapat menjadi wakil dari konteks tersebut. Kesadaran baru publik yang lebih peduli dengan kelestarian lingkungan atau pemanfaatan bahan lokal, juga merupakan contoh konteks lain. Perubahan ini memberikan tekanan kepada desainer, untuk direspons, dengan baik.

 

Ragam respons

Responsnya pun sangat mungkin beragam. Ada respons yang berangkat dari kesadaran normatif: hasil pembelajaran (learning), baik individual maupun kolektif. Contohnya adalah kesadaran kolektif untuk memberikan perhatian terhadap perubahan iklim yang dimitigasi untuk menjamin masa depan manusia. Arsitek yang tersadar akhirnya menjadikan isu ini menjadi salah satu konsiderans atau bahkan nilai penting dalam mendesain.

Ada juga tekanan yang bersifat memaksa atau koersif. Peraturan yang memaksa dari otoritas atau lembaga superior, seperti Dewan Arsitek Indonesia (DAI), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), atau Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia (APTARI), merupakan contohnya. Tekanan seperti ini bersifat membatasi (constraining). Arsitek tidak punya pilihan lain selain mengikutinya, baik dengan suka maupun maupun tidak suka.

Akhirnya, tidak semua pilihan bersifat rasional, meskipun bisa juga keterpaksaan tersebut akhirnya menghadirkan kesadaran. Ini mirip dengan seseorang yang mengampayekan sadar lingkungan di ruang publik, tetapi menjadi perusak ekosistem di tempat lain, yang tersembunyi.

Satu lagi, ada juga tekanan yang direspons secara mimetik, meniru saja tanpa proses pembelajaran yang cukup. Ini mirip dengan proses pengklonaan (cloning). Apa contohnya? Desain yang mengekspos kerangka baja, korden dengan pembagi ruang, atau pilihan warna monokrom yang dipadukan dengan warna aksen, taman di dalam atau di atas gedung, misalnya, bisa jadi tidak selalu mudah dicarikan justifikasinya selain karena menjadi fesyen atau mode untuk merespons selera zaman yang berubah di sebuah konteks.

Fesyen ini akhirnya teramplifikasi di konteks lain, yang bahkan berbeda sama sekali. Ini mirip dengan pembuatan bangunan di daerah tropis yang meniru desain dari wilayah empat musim. Atau, bangunan di Indonesia menyontoh yang didesain untuk daerah gurun. Akhirnya, kita paham bahwa respons terhadap tekanan tidak selalu rasional.

 

Lensa lain

Sebagai penikmat karya arsitektur, yang bukan arsitek, saya percaya, lensa ini masih relevan untuk digunakan, untuk memotret praktik di lapangan. Itulah mengapa banyak karya arsitek yang serupa dan saling menginspirasi. Lensa tersebut terinspirasi oleh teori institusional rasa Amerika.

Jika ingin menjadi berbeda, pertanyaannya bukan “mengapa banyak karya atau artefak arsitektur serupa”, tetapi “bagaimana supaya karya artektur menjadi berbeda atau bahkan keluar dari pakem yang selama ini ada?”. Jika fokusnya yang kedua, lensa lain perlu digali dan diperkenalkan. Teori institusional rasa Eropa, dapat menjadi salah satu alternatifnya.

Saya percaya bahwa “gaya” yang ditampilkan dalam setiap karya arsitektur ibarat puncak dari gunung es. Ada proses panjang sebelumnya dan banyak konsiderans yang membingkainya. Bagian inilah yang tidak kasat di mata publik.

Karenanya, saya bertanya, apakah mungkin, desain yang partisipatif bisa digaungkan dalam konteks arsitektur? Saya yakin, jawabannya ya. Tetapi, apakah semua arsitek “mengimaninya”: mempercayai dalam hati, mengikrarkan dengan lisan atau tulisan, dan membuktikan dalam praktik nyata? Jika jawabannya ya, pertanyaan lanjutannya: apakah “keimanan” ini dijalankan secara istikamah atau konsisten?

Tujuan pertanyaan ini adalah untuk menyadarkan Saudara supaya arsitek profesional yang inovatif dan sekaligus bertanggung jawab.

Saya membiarkan pertanyaan ini tetap terbuka, untuk direfleksikan oleh semua aristek, terutama arsitek muda, yang hadir saat ini. Mohon maaf, jika pertanyaan ini cenderung menggelitik dan nakal.

Terakhir, saya ingin menitipkan pesan kepada arsitek muda. Saudara dituntut terus untuk mengembangkan kemampuan adaptif dengan tidak lelah dan lengah dalam mengikuti perkembangan serta mengasah sensitivitas untuk meresponsnya.

Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk pencapaiannya. Semoga Allah senantiasa memudahkan langkah Saudara untuk berkontribusi di dunia nyata.

Sambutan pada Wisuda Profesi dan Janji Arsitek, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia angkatan ke-7 dan ke-8, 23 Desember 2021.