Merawat Semangat Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM) Republik Indonesia (RI) menyelenggarakan diskusi panel bertema “Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Negara Demokrasi” pada Jumat (26/4) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII.
Diskusi panel menghadirkan lima panelis, yakni Dr. Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A. (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik), Dr. Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M. (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI), Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. (UII dan Forum Cik di Tiro), Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. (Fakultas Hukum UII dan PYBW UII), dan Fatia Maulidiyanti (International Federation for Human Rights)
Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya mengemukakan tidak ada satu kesepakatan tunggal terkait dengan konsep demokrasi. Gagnon (2018) mengidentifikasi 2.234 deksripsi demokrasi yang disebut dalam literatur.
“Di sana, misalnya, terdapat demokrasi liberal, illiberal, keterwakilan (representative), cepat (fast), lambat (slow), besar (big), kecil (small), putih (white), hitam (black), hijau (green), pelangi (rainbow), feminin (feminine), maskulin (masculine), torpedo-boat, dan sekitar dua ribuan predikat lainnya,” terang Prof. Fathul Wahid.
“Kalau kita cari koridor besar, kita bisa ambil parameter yang dipakai oleh Economic Intelligence dalam membuka Indeks Demokrasi. Di sana ada aspek: electoral process and pluralism, civil liberties, functioning of government, political participation and political culture,” Prof. Fathul Wahid menambahkan.
Ketua Komnas HAM RI Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc. dalam paparan pidato kunci menyampaikan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sekaligus harapannya terkait diskusi panel.
Atnike Nova Sigiro mengemukakan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan syarat mutlak untuk pengembangan diri individu/seseorang/warga negara dan merupakan hal penting bagi masyarakat dimanapun dan merupakan pondasi yang penting bagi masyarakat yang demokratis. Ia berharap, melalui diskusi yang digelar dapat membuka cakrawala yang lebih luas serta untuk penguatan masyarakat sipil dan akademisi.
Panelis pertama Herlambang P. Wiratraman mengemukakan kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik.
“Sehingga gerakan kebebasan akademik dan solidaritasnya harus dikuatkan agar pencerdasan kewargaan tumbuh dan dapat menjaga negara hukum demokratis dengan mengawal perlawanan hukum dan konstitusional,” paparnya.
Panelis berikutnya, Abdul Haris Semendawai dalam materinya memaparkan tentang merawat ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia. Dijelaskan, Komnas HAM telah menetapkan standar norma dan pengaturan dalam merawat ruang berekspresi dan berpendapat yang bermanfaat untuk semuanya agar memastikan tidak ada kebijakan yang dibuat oleh aparat negara yang membatasi hak tersebut dan masyarakat dapat terhindar dari Tindakan pembatasan hak berekspresi dan brpendapat.
Selanjutnya, Fatia Maulidiyanti sebagai panelis menjelaskan terkait kebebasan sipil di Indonesia. Menurutnya setidaknya harus memuat tiga pilar. “Kebebasan berpendapat merupakan pilar dari kebebasan sipil sehingga harus memuat tiga pilar, yang pertama partisipasi yang harus memastikan masyarakat sipil terjamin partisipasinya dalam isu apapun yang diupayakan,” jelasnya.
“kedua perlindungan yang memastikan masyarakat sipil dapat terlindungi sebagai prasyarat untuk ruang sipil yang dinamis, ketiga pemajuan dengan mempromosikan saluran partisipasi inklusif dan kebebasan fundamental,” terang Fatia Maulidiyanti.
Lebih lanjut, panelis berikutnya Suparman Marzuki dalam paparannya mengatakan bahwa dengan dikekangnya bahkan diberangusnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi berimplikasi pada penurunan kualitas negara dan sumber daya negara itu sendiri.
Menurut Suparman Marzuki kebebasan adalah hak yang fundamental dan klasik karena di masa lalu manusia tidak mempunyai hak. Implikasi dari tidak adanya kebebasan mampu menurunkan kualitas manusia.
“Negara yang merenggut dan meniadakan kebebasan berekpresi warga negaranya maka sebenarnya bangsa itu sedang menurunkan derajat kualitas negaranya, dan pada saat yang sama juga membenamkan derajat kualitas sumber daya manusianya,” tandas Suparman Marzuki.
Panelis terakhir Prof. Masduki mengutarakan gagasannya mengenai keterkaitan kebebasan berekspresi dengan kebebasan pers. Menurutnya antara kebebeasan berekspresi dan kebebasan pers ibarat dua sisi mata uang.
“Bahwa kebebasan berekspresi tidak akan terjadi tanpa adanya kebebasan pers begitupun sebaliknya dan bahkan kebebasan pers ini akan mempengaruhi juga sistem politik dan demokrasi di suatu negara,” jelas Prof. Masduki
Kegiatan diskusi panel ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang interaktif dan closing statement dari semua panelis yang sepakat bahwa tetap berekspresi dan berpendapat ialah cara satu satunya untuk merawat hak tersebut. (AHR/RS)