Menyoroti Pasal Penghinaan Presiden dalam Draf RKUHP
Mencuatnya kasus BEM UI yang mengkritik Presiden Jokowi sebagai The King of Lip Service di laman instagramnya, kembali menjadikan pasal penghinaan Presiden dalam draf RKUPH menyita perhatian publik. Pasalnya, pemerintah ingin mengatur kembali pasal terkait penghinaan Presiden untuk melindungi marwah Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, sekaligus simbol negara RI. Namun, hal ini mendapat penolakan di kalangan masyarakat karena dianggap akan menciderai hak kebebasan berpendapat, mengingat Presiden merupakan Pemimpin Negara yang sudah sewajarnya menerima kritik dari masyarakat.
Berangkat dari persoalan tersebut Forum Kajian dan Penulisan Hukum (FKPH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan kajian aktual bertemakan “Catatan Demokrasi: Menyoroti Pasal Penghinaan Presiden dalam Draf RKUHP” pada Rabu, (30/6) secara virtual, dengan menghadirkan pemateri Dosen FH UII Ari Wibowo, S.H., M.H.
Ari Wibowo mengatakan terkait konsep kebebasan berpendapat, setidaknya ada dua HAM yang harus dilindungi, yaitu HAM orang yang menyampaikan pendapat dan HAM untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Dengan demikian, kebebasan menyampaikan pendapat boleh dilakukan selama tidak melanggar kewajiban untuk menghormati kehormatan dan harkat dan martabat manusia. Terkait dengan penghinaan, sebelumnya Indonesia telah mengaturnya dalam KUHP.
Ari Wibowo menjelaskan, pasal penghinaan terhadap presiden tersebut, kemudian dibatalkan melalui Putusan MK No 13-022/PUU-IV/2006 karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28, 28E ayat (2) dan (3), dan 28F UUD 1945, yang memuat ketentuan penghinaan terhadap Presiden masuk kategori penghinaan biasa dengan delik aduan. Karena sebelumnya, ketentuan Pasal 134, 136, dan 137 KUHP tersebut merupakan delik biasa, sehingga berimplikasi pada seseorang yang dianggap menghina Presiden bisa ditangkap tanpa membutuhkan aduan dari Presiden itu sendiri.
“Jika melihat pada pasal penghinaan biasa 310 KUHP, ada perbedaan antara makna kehormatan dengan nama baik. Kalau kehormatan itu mengandung nilai kesopanan dalam masyarakat, seperti misalnya menyebut seorang wanita dengan pelacur, menyebut orang lain dengan monyet, bangsat, dll. Sedangkan, nama baik mengandung makna martabat atau harga diri, yaitu pandangan/penilaian yang baik dari masyarakat terhadap seseorang dalam pergaulan karena perbuatannya/kedudukannya,” ujarnya.
Ari Wibowo mengatakan, ada empat unsur delik yang harus dipenuhi dalam ketentuan pasal ini, yaitu apa perkataannya, siapa yang mengatakan, siapa yang dikatai/mendapat perkataan tersebut, dan dalam konteks apa perkataan itu diucapkan. Adapun, jika ketentuan delik ini diaplikasikan pada pasal penghinaan Presiden yang diwacanakan oleh pemerintah dalam draf RKUHP sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 218-220, dengan menerapkan delik aduan, menurutnya, akan sangat sulit nantinya untuk membedakan antara tindakan penghinaan dengan tindakan mengkritik Presiden.
Sebagaimana pada peristiwa era pemerintahan orde baru misalnya, pasal penghinaan presiden ini kerap kali dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan politik pemerintah. Selain itu, akan sangat sulit juga menentukan indikator untuk menentukan suatu perbuatan merupakan tindakan penghinaan atau kritikan. “Karena di sisi lain, Presiden itu merupakan pemimpin negara yang sudah sewajarnya menerima kritikan, sehingga tidak seharusnya pasal seperti penghinaan presiden ini menjadi hal yang prioritas dalam negara yang demokrasi,” tutup Ari Wibowo. (EDN/RS)