Menyoal Penunjukan Pejabat Sementara Kepala Daerah
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggarakan webinar “Problematika Masa Jabatan Kepala Daerah dan Pemilihan Serentak 2024” pada Jum’at, (21/1). Webinar ini menghadirkan pemateri, diantaranya yaitu Dr. Jamaluddin Ghafur, S.H., M.H., (Dosen HTN dan Dewan Pakar PSHK FH UII), Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah (Pendiri Netgrit dan Anggota Dewan Nasional Konvensi Rakyat), dan Titi Anggraini, S.H., M.H. (Dewan Pembina Perludem).
Titi Anggraini membuka webinar dengan menjelaskan tata kelola pemilu yang baik berpengaruh terhadap kualitas dan tujuan masyarakat dalam melakukan konsolidasi demokrasi di suatu negara. Beberapa bagian dari tata kelola pemilu yaitu rule making atau pembuatan aturan untuk melaksanakan pemilu tersebut, rule application atau aplikasi dari aturan/kerangka hukum pemilu yang telah dibuat, dan rule adjudication atau penyelesaian berbagai masalah hukum pemilu yang muncul dari pengaplikasian aturan pemilu yang ada.
Berkaca pada pemilu serentak tahun 2019 lalu, menurutnya banyak hal yang perlu diperbaiki pada pemilu 2024 mendatang. Salah satunya yakni memperkuat sistem teknologi informasi (TI) penyelenggaraan pemilu dengan meningkatkan keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitasnya. Tidak kalah penting adalah mendorong digitalisasi sertifikasi hasil penghitungan suara di TPS.
Pemilu harus mampu mencitrakan figur imparsial, kompeten dan inklusif, mekanisme tripartit antar penyelenggara pemilu harus dikelola dengan baik, dan melakukan perancangan pengawasan internal yang maksimal sebagai prevensi untuk melindungi murah kelembagaan penyelenggara pemilu.
Sementara itu, Ferry Kurnia menyebutkan di tahun 2022 setidaknya terdapat 76 kabupaten dan 18 kota yang Kepala Daerahnya akan habis masa jabatannya. Di tahun 2023, sebanyak 171 Kepala Daerah di 17 provinsi, 15 kabupaten, dan 39 kota juga akan berhenti. Konsekuensinya akan muncul pejabat-pejabat publik yang berasal dari penunjukan oleh instansi di atasnya dengan kurun waktu yang cukup lama, yakni kurang lebih 2 tahun masa pemerintahan.
Menurutnya, hal ini akan memunculkan berbagai permasalahan jika tidak diantisipasi dengan baik. Seperti legitimasi atas kebijakan yang diambil Plt. Kepala Daerah dan tumpang tindih kewenangan yang dijalankan pejabat sementara tersebut. Untuk mengatasi hal itu, ia menyarankan perlu dibentuknya aturan yang tegas yang mengatur tentang pejabat pengganti sementara kepala daerah, berkaitan dengan kewenangan, wewenang yang ada, kualifikasi perlindungan hukumnya, kualifikasi menjadi pelaksana tugas, dan sanksi jika terjadi penyalahgunaan wewenang dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis.
Terakhir, Jamaluddin Ghafur menilai rekrutmen kandidat pejabat publik adalah fungsi dasar dan minimal partai politik dan menjadi pembeda antara partai politik dengan organisasi-organisasi sosial dan politik lainnya. Terkait habisnya masa jabatan kepala daerah, ia menyarankan pemilihan pejabat pengganti sementara dapat ditunjuk oleh DPRD.
Dengan mekanisme ini, DPRD yang melakukan penunjukan terhadap pejabat pengganti sementara memiliki kedudukan sebagai perwakilan rakyat. Hal ini tentu tidak akan menabrak prinsip-prinsip demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Dan menurut Jamal, presiden perlu untuk membuat perpu yang merubah mekanisme penetapan pejabat sementara (pjs) menjadi pemilihan melalui DPRD, dengan catatan periode waktunya hanya dua tahun.
Menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, apabila terjadi kekosongan kepemimpinan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden maka pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama, yang hanya dibatasi selama 3 bulan oleh orang yang tidak dipilih oleh rakyat, dan setelahnya itu maksimal 1 bulan harus dipilih oleh rakyat.
“Maka secara definitif, ini mestinya berlaku juga pada pilkada karena jabatan pilkada itu juga sama dengan jabatan eksekutif di level pusat, hanya ini di level daerah. Dan sekali lagi hakikatnya kita kembalikan pada cara pemilihannya yang berdasarkan pada aspirasi masyarakat. Jadi kalau memang pemilihan langsung tidak dimungkinkan, maka tidak ada salahnya kalau kita merujuk pada pada pemilihan anggota DPRD yang menurut putusan MK itu juga dikualifikasi sebagai pemilihan yang demokratis,” tutupnya. (EDN/ESP)