Menyoal Masa Depan RUU Haluan Ideologi Pancasila
Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila belakangan tengah menjadi sorotan. RUU ini memicu sejumlah tanggapan politisi dan agamawan yang menganggapnya tak memiliki urgensi dibahas di masa pandemi. Ormas keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah juga menilai RUU ini dapat menjadi celah bangkitnya ideologi tertentu di luar Pancasila.
Salah satu titik permasalahan RUU ini adalah di dalamnya tidak mencantumkan TAP MPRS 25/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis di Indonesia serta larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme Leninisme. Selain itu, frasa pada Pasal 7 yang memeras Trisila dan Ekasila dapat ditafsirkan “liar” karena lima sila Pancasila saling berkaitan.
Menanggapi isu menarik ini Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII mengadakan diskusi daring membahas urgensi dan masa depan RUU ini. Dua pemateri yang hadir yaitu M. Rusydan Annas selaku staf peneliti PSH FH UII dan Anang Zubaidy, S.H., M.H. dosen FH UII.
Dalam perjalanan sejarah, kedudukan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara mengalami pasang surut. Pancasila merupakan dasar falsafah pendirian Indonesia. Falsafah merupakan pewujudan watak dan keinginan dari suatu bangsa, segala aspek kehidupan bangsa tersebut harus sesuai dengan falsafahnya. Demi memperkuat falsafah dan penafsiran sila-sila sebagai kehidupan berbangsa dan bernegara ini maka dibentuklah RUU HIP.
Anang Zubaidy menegaskan kembali jika RUU HIP ini disahkan, maka indoktrinasi Pancasila atas nama upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila sangat mungkin untuk dilakukan. “Negara akan masuk bagaimana caranya masyarakat itu menjadi terinternalisasi nilai-nilai Pancasila yang pada akhirnya menjadi tafsir tunggalnya penguasa”, ujarnya.
Menurutnya, RUU ini memiliki kesan untuk membangkitkan aura dan kharisma Soekarno kembali untuk dihadirkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia saat ini.
“Seolah-olah hal tersebut ingin menafikkan tokoh-tokoh lain di luar Soekarno, karena Pancasila bukan hanya hasil dari kesepakatan Soekarno namun juga kesepakatan dari negarawan-negarawan lain yang tergabung dalam the founding fathers kita”, jelasnya.
Ia juga khawatir apabila RUU HIP justru menghambat tumbuhnya demokrasi karena campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat akan semakin besar. Dengan internalisasi cukup kuat maka kebebasan masyarakat untuk berekspresi menjadi semakin kecil. Karena demokrasi pada hakikatnya adalah hak untuk berbeda pandangan atau pendapat maka RUU HIP ini juga potensial akan menghapus indikator tersebut.
Sementara itu, Rusydan Annas menyoroti hal yang patut dipermasalahkan lain yaitu kejanggalan pada hirarki peraturan perundang-undangan “Dalam bidang hukum, Pancasila merupakan sumber hukum materiil, setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya, tetapi dalam RUU ini Pancasila malah diletakkan pada undang-undang dan undang-undang ada di bawah Pancasila, sehingga ada ketidaksesuaian penalaran hukum mengenai hirarki tersebut.” jelasnya.
Ia menilai apabila RUU HIP ini disahkan di kemudian hari, lantas bagaimana jika ada RUU yang ingin diterbitkan setelah UU HIP bertentangan dengan Pancasila, dan bagaimana sistem pengujian undang-undang tersebut yang pada hakikatnya undang-undang tidak boleh saling menguji undang-undang lainnya.
“Selain permasalahan hirarki tersebut, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila hanya akan berdasarkan pada UU HIP tersebut, pemahamannya akan menjadi kaku dan tidak fleksibel.” pungkasnya. (MRA/ESP)