Menyoal Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Kenegaraan
Adanya surat pemanggilan Rektor UI kepada Lembaga BEM UI atas postingan ‘The King of Lips Service’ menandakan telah diciderainya kebebasan berpendapat di muka umum yang terdapat dalam ketentuan Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945. Berangkat dari isu ini, Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII mengadakan webinar virtual yang bertemakan “Paradigma Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Kenegaraan” pada Minggu (4/7) melalui zoom meeting, dengan menghadirkan para narasumber yang ahli di bidangnya, yaitu Asfinawati (Direktur YLBHI) dan Feri Amsari (Dosen HTN FH Universitas Andalas).
Asfinawati mengatakan adanya narasi ‘menunggangi’ dalam aksi mahasiswa itu sangat memprihatinkan, menurutnya narasi seperti itu seakan-akan menyatakan bahwa mahasiswa hanya bergerak karena ada sesuatu. Dalam sejarah perkembangannya, narasi-narasi seperti ini merupakan narasi rezim yang sering digunakan pemerintah untuk mengontrol gerakan masa aksi, dari zaman era orde baru hingga saat ini.
Asfinawati menjelaskan bahwa pengendalian atau pelemahan kebebasan akademik diawali dari adanya Deklarasi Pemuda Indonesia pada tanggal 23 Juli 1973 yang bertujuan untuk menyatukan organisasi-organisasi pemuda Indonesia di bawah KNIP, kemudian dilanjutkan dengan pembekuan Dewan Mahasiswa oleh Kopkamtib, adanya kebijakan pembiayaan organisasi mahasiswa dari kampus, hingga melarang mehasiswa untuk melakukan kegiatan yang bernuansa politik, dll. Menurutnya, trik pemerintah untuk menyatukan organisasi-organisasi pemuda di bawah KNIP adalah salah satu cara untuk memudahkan sistem pengendalian.
“Karena kalo mereka menyatu tentu akan lebih mudah untuk mengendalikan. Bayangkan jika pemerintah harus mengendalikan 20 organisasi dalam satu waktu, tentu dengan mengendalikan satu KNIP yang menaungi 20 organisasi itu jauh lebih mudah,” ujarnya.
Asfinawati mengatakan, cara untuk mengontrol kegiatan mahasiswa dari kegiatan politik dan penyatuan keorganisasian mahasiswa dengan kampus melalui Rektor dan Dekan, yang dapat berakhir pada sanksi atau pemecatan jika tindakan organisasi mahasiswa bertindak tidak sesuai. Ini dapat memungkinkan menjadikan Rektor dan Dekan sebagai kaki tangan pemerintah.
“Yang saya tahu saat ini, ada tiga kampus yang mengadu ke YLBHI ditelfon oleh Badan Intelijen Negara (BIN) karena menyelenggarakan diskusi, rata-rata diskuis tentang Papua. BIN itu dalam undang-undangnya tidak boleh melakukan kegiatan yang eksekutable, jadi kegiatannya hanya melakukan kajian dan rekomendasi. Ketika BIN sudah angkat telfon ini merupakan hal yang besar dalam negara demokrasi buat YLBHI,” ujarnya.
Jika melihat pada konstitusi, Indonesia sudah meratifikasi Pasal 13 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (Ekosob) tentang hak atas kebebasan akademis. Menurutnya, jika dalam lembaga pendidikan tidak ada kebebasan berpendapat, hal ini perlu dipertanyakan. Mengingat tujuan dari ratifikasi ini agar menciptakan mahasiswa yang aktif, karena jika mahasiswanya sangat aktif, maka sebetulnya pendidikan itu sudah berhasil. Selain itu, dengan meratifikasi konvenan ini, maka Pemerintah juga tidak boleh untuk mencampuri urusan mahasiswa, dosen, pimpinan kampus, atau yayasan untuk kampus swasta, ataupun bagi yang mengurus seperti rektorat, dekanat, dll.
Selanjutnya, Feri Asmari mengatakan menutup ruang untuk menyatakan pendapat merupakan pengkhianatan terbesar negara merdeka seperti Indonesia kepada ibu dan bapak bangsanya. Karena, zaman dahulu ibu dan bapak bangsa itu ketika menyampaikan kebenaran mereka itu sampai dipenjara oleh penguasa pada saat itu. Jika melihat pada sejarah dunia, lumrahnya pembatasan menyampaikan kebenaran ilmiah baik di dalam maupun di luar kampus sepanjang itu bernuansa akademik adalah nilai terbesar intelektual suatu negara, dan biasanya hanya negara otoriter yang mencoba membenamkan pemikiran terhadap apa yang sedang terjadi.
Menurut Feri, intelektualitas dapat dilihat dari seberapa berani dosen maupun mahasiswa untuk menyampaikan apa yang ada di dalam hati atau pemikirannya sebagai sesuatu yang dianggapnya benar secara bebas.
“Jadi, kalau orang kampus, civitas akademika tidak bergerak bersama publik luas menegakkan kebenaran, maka kebaikan akan hilang di ranah publik,” ujarnya.
Kampus itu harus peduli kepada masyarakat, karena intelektual yang baik itu yang menjadikan masyarakat sebagai guru agungnya. Karena tanpa masyarakat, para intelektual pasti akan gagal berfikir untuk mencari solusi-solusi kehidupan kemanusiaan. Menurutnya, jika melihat pada rezim-rezim yang melarang seperti saat ini, tujuannya sudah jelas bukan soal menertibkan kehidupan masyarakat, tetapi untuk memastikan kejayaan kelompoknya tetap terjaga.
“Jadi, mereka akan mau memperpanjang masa jabatan, membatasi orang-orang yang mencoba mengungkap kebenaran, salah satunya dengan memberhentikan 75 orang anggota KPK dengan berbagai cara. Inilah sebenaranya upaya-upaya pihak kampus yang ikut terlibat dengan rezim, saya pikir itu pengkhianatannya dua kali. Pengkhianatan terhadap para intelektual kampus dan pengkhianatan terhadap masyarakat yang mereka lindungi,“ ucapnya.
Menurutnya, kampus adalah tempat untuk mendiskusikan kebenaran, sehingga tidak boleh diintervensi. Selain itu, kampus juga bisa menjadi tempat untuk merancang aksi, aksi untuk mengungkapkan kebenaran, dan senantiasa mengingatkan penguasa negara. (EDN/RS)