Menumbuhkan Nilai Kebangsaan dan Kebhinekaan
Memahami nilai-nilai kebangsaan merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan persatuan Indonesia. Nilai-nilai ini tercermin dalam sikap dan prilaku bangsa Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) menyelenggarakan Studium General pada Sabtu (26/9) secara daring. Kegiatan ini mengangkat tema ‘Menggali Nilai Kebangsaan dan Kebhinekaan dalam Perspektif Tafsir Tarbawi’ dengan menghadirkan narasumber Guru Besar Bidang Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan dan Alumni UII, Dr. Drs. Rohidin, M.Ag. dalam sambutannya menyampaikan bahwa Indonesia saat ini berada dalam pusaran ideologi, dan proses perubahan demografi. Sejak terbukanya pintu reformasi berbagai ideologi mulai bermunculan, menyikapi hal ini diperlukan kuatnya keyakinan dan pemahaman terhadap Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. “Pancasila sebagai darul ‘ahdi wa syahadah atau mu’ahadah wathaniyah yang bermakna bahwa setiap kelompok, harus berakselerasi meraih kemajuan dan keunggulan berdasarkan etika dan sportifitas,” imbuhnya.
Pancasila menurut sebagian kalangan dianggap sebagai asas negara konsesnsus dan kesaksian atau sebagai kesepakatan kebangsaan. Artinya negara Indonesia adalah negara yang sepakat dengan kemaslahatan. Rohidin dalam kesempatannya berpesan sebagai warga negara Indonesia haruslah berperan aktif dalam pemahaman, penghayatan, dan laku hidup sehari-hari. Adanya Pancasila memiliki tujuan untuk memberikan pedoman bagi masyarakat mengenai arti penting pertahanan ideologi, serta sebagai alat harmonisasi dan manifestasi intelektual.
Lebih lanjut Rohidin menyebut pentingnya menyikapi berbagai perbedaan dengan sikap tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang), yang artinya tidak ekstrem dan tidak pula liberal. ”Jika nilai ini benar-benar di implementasikan maka obsesi kebangsaan dan kebhinekatunggalikaan dapat diwujudkan,” tuturnya.
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. mengatakan perlu adanya kiblat baru dalam perkembangan peradaban Islam. Negara Indonesia dengan jumlah pemeluk Islamnya yang besar, wilayah geografisnya yang luas, dan paling homogen karena suni yang mendominasi sebagai madzab modal historis yang sangat penting, mampu untuk mengampu peradaban Islam di masa depan.
“Jadi biarkanlah Makkah menjadi kiblat muslim dalam beribadah, dan kita obsesikan Indonesia menjadi kiblat muslimin dalam peradaban. Mari kita mengukuhkan Indonesia, dan tetaplah kiblat ibadah kita di Makkah,” tuturnya.
Nasaruddin Umar menegaskan bahwa dunia tidak bisa menganggap Islam itu bertentangan dengan konsep hak asasi manusia dan politik modern demokrasi. Ia mengingatkan bahwa Indonesia hadir untuk menjadi negara contoh untuk sebuah demokrasi. Keutuhan negara Indonesia yang menyatukan banyak perbedaan di dalamnya dikarenakan wujud kolaborasi antara Islam dengan kearifan lokal. Selama keutuhan umat Islam terjaga di Indonesia, kekokohan Indonesia tidak akan goyah.
“Apa yang membuat Indonesia utuh sampai saat ini? Itu adalah adanya semacam kolaborasi asimilasi antara Islam dengan kearifan lokal. Selama kearifan lokal berpadu dengan ajaran Islam maka Indonesia tidak akan goyah,” ucapnya.
Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa saat ini keutuhan umat Islam dijadiakn sasaran strategi pemisah keutuhan bangsa. Sebagaimana saat ini terlihat banyaknya konflik yang terjadi di dalam kepemimpinan, seperti menghadap-hadapkan antara ulama’ dan umara (pemimpin), kebudayaan dan kearifan lokal karena hal-hal tersebut akan berdampak pada perpecahan umat antar bangsa. Dengan adanya konsep ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ diharapkan mampu menjadi lapangan luas yang bisa menampung semua perbedaan itu.
“Sudah saatnya kita berfikir jernih disini. Jangan kita mempertahankan sebuah konsep yang tidak jelas, dari orang yang tidak jelas juga. Sekalipun kita berbeda-beda, tetapi kita juga tetap satu visi dan misi. Tidak perlu kita bertengkar hanya karenan mempersoalkan atribut-atribut yang firqoh, yang bercabang-cabang,” jelasnya.
Terakhir, Nasaruddin Umar berpesan untuk tidak menghadap-hadapkan antara kebangsaan dan keislaman. Sebab, ideologi kebangsaan yang telah dicanangkan terutama dalam Pancasila dan UUD 1945, tidak ada satupun yang bertentangan dengan Islam. “Mari kita beragama Islam yang sejati, menebarkan cinta dan kasih sayang. Kalau ada orang mengatasnamakan Islam dan menebarkan kebencian maka itu tidak disemangati oleh bismillahirrahmanirrahim,” pungkasnya. (HA/RS)