Menjerat Pemegang Saham Nakal
Tidak sedikit pemegang saham nakal yang menghindar dengan mudah dari tanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tempat mereka berinvestasi. Jenis tindak pidana yang biasanya dilakukan oleh korporasi biasanya berupa manipulasi keuangan, penipuan akuntansi, penipuan konsumen, kartel, suap, tumpahan limbah beracun dan bahaya lingkungan, pelanggaran privasi, diskriminasi, kekerasan, dan pembunuhan, serta manipulasi perangkat lunak.
Inilah yang mendasari, Ari Yusuf Amir, S.H., M.H menulis disertasi berjudul “Sistem Pertanggungjawaban dan Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pemegang Saham Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana”. Disertasi itu disampaikannya pada Ujian terbuka promosi Doktor pada Jumat (8/11), di Auditorium KH. Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus terpadu Universitas Islam Indonesia. Sidang itu dipimpin oleh Rektor UII, Fathul Wahid, Ph.D.
Ia berusaha menemukan jawaban bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum pidana?. Bagaimana dan dalam hal apakah pemegang saham korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, serta bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pemegang saham korporasi yang seharusnya pada masa yang akan datang?.
“Penelitian ini mencoba mengkaji dan meneliti dengan pendekatan legal, agar pemegang saham yang bertindak di luar kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007, yaitu mencampuradukkan harta kekayaan pribadi dengan harta kekayaan perseroan, serta ikut mempengaruhi pengurus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.” Terang Ari.
Menurutnya, penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum pidana, menganalisis sistem penerapan sanksi pidana terhadap pemegang saham korporasi sebagai subjek hukum pidana, serta menemukan sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pemegang saham korporasi yang seharusnya (di masa yang akan datang).
Ari menemukan bahwa sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum positif Indonesia selama ini masih menganut doktrin societas delinquere non potest, yang berarti bahwa perusahaan atau korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana. Hukum pidana nasional masih menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan dan asas legalitas.
Namun dalam pustaka hukum pidana modern, pelaku tindak pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatan secara fisik sebagaimana pelaku tindak pidana konvensional. Pasal 55 ayat (1) KUHP dengan pendekatan teori fungsional dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa korporasi telah melakukan tindak pidana.
Korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana apabila perbuatan tersebut, untuk kepentingan dan atas nama korporasi, serta dilakukan oleh orang yang secara fungsional bertanggung jawab pada korporasi. Sementara dalam hal tindak pidana pemegang saham, belum banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Terkait bagaimana dan dalam hal apakah pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Ia merujuk pada UU No. 40 Tahun 2007 yang mengakui doktrin piercing the corporate veil. Hal itu dapat menyingkap tabir terbatasnya pertanggungjawaban bagi pemegang saham. Namun, banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang belum mengatur atau menerapkan doktrin piercing the corporate veil ini.
Ia menyarankan perlunya perumusan sistem pertanggungjawaban pidana pemegang saham dalam tiga tahapan yaitu tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Tahap formulasi merupakan tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang atau tahap legislatif. Dalam tahap ini pertanggungjawaban pidana pemegang saham sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 dapat menjiwai seluruh undang-undang yang terkait dengan korporasi. Doktrin yang dipergunakan dalam perumusan undang-undang yang terkait adalah doktrin piercing the corporate veil dan doktrin alter ego.
“Penelitian ini berkesimpulan bahwa pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pemegang saham tidak bisa lagi bersembunyi di balik tirai (corporate veil) bila melakukan perbuatan yang diluar kewenangannya (Ultra vires). “ Jelas Ari.
Ari juga menyarankan agar pemegang saham yang bertindak di luar kewenangannya dan menyebabkan korporasi melakukan tindak pidana, selain dipidana, juga diberi pidana tambahan berupa larangan menjadi pemegang saham di korporasi lain, baik dalam waktu sementara maupun selamanya. (DD/ESP)