Menjaga Marwah dan Martabat Hakim
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) bekerjasama dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI) menyelenggarakan Klinik Etik dan Advokasi pencegahan Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH). Program ini, merupakan program kerjasama tahunan KY dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tahun ini, terpilih 20 orang mahasiswa FH UII dari angkatan 2018, 2019, dan 2020 yang turut mengikuti pelatihan ini. Sebagai puncak dari acara pelatihannya, pada Senin (22/11) FH UII dan KY menyelenggarakan sebuah webinar “Pencegahan PMKH”.
Binziad Kadafi, S.H., LL.M., Ph.D. (Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial) pada acara itu mengatakan bahwa independensi seorang hakim harus dijamin serta bebas dari pengaruh eksternal. Independensi hakim bukan hanya terbatas pada atribut yang diberikan kepada hakim dengan jabatannya, melainkan juga manifestasi jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan peradilan yang bersih dan adil.
“Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara memberikan jaminan perlindungan bagi independensi hakim baru, melindungi kebebasan hakim untuk melahirkan pengadilan yang adil, dan memberikan perlindungan terhadap hakim dengan prinsip transparansi, judicial control, dan kebebasan berpendapat,” ujarnya.
Sementara itu, M. Buchary K. Tampubolon, S.H., M.H. (Hakim Ketua Pengadilan Negeri Dumai) menyampaikan bahwa PMKH telah diatur dalam Pasal 13 UU No 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. KY memiliki tugas dan peranan penting untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Selain itu, KY juga memiliki tugas untuk mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
KY juga dapat meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan hakim jika ada dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Untuk mencegah terjadinya PMKH ini, ia berpendapat bahwa KY harus terus membangun kerjasama dengan berbagai mitra dalam rangka melakukan publikasi tentang PMKH.
“Semakin tinggi tingkat publikasi KY terhadap tindakan hukum atas perilaku PMKH, maka akan semakin tinggi pula tingkat kehormatan hakim di masyarakat. Selain itu, perlu juga kesadaran masyarakat sebagai bangsa modern untuk dapat memperbaiki skala prioritas dengan dapat menjaga kehormatan hakim. Karena, tingkat kehormatan hakim berbanding lurus dengan tegaknya keadilan dan hukum,” ucapnya.
Selanjutnya, Dyah Ayu Sekar Pratiwi, S.H., M.Hum. (Jaksa Penuntut Umum Kejari Surakarta) menjelaskan bahwa setiap unsur subyektif dan obyektif memiliki peran yang cukup penting dalam mencegah terjadinya PMKH di persidangan. Ia mencontohkan dalam persidangan daring misalnya, para aparat hukum juga tetap menaati segala ketentuan yang berlaku dalam sidang pengadilan selayaknya pada persidangan secara langsung. Hakim menjalankan persidangan dari ruang pengadilan, jaksa dari kantor kejaksaan, terdakwa dari rutan, saksi dari kantor kejaksaan, dan bukti seperti surat dan petunjuk turut dihadirkan dari kantor kejaksaan.
Semua hadir dengan baik, bersikap dengan baik, dan memakai pakaian dan atribut yang lengkap sesuai dengan ketentuan persidangan. Dyah mengatakan bahwa demi menjaga kehormatan persidangan jaksa wajib menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan persidangan. Dalam menghadirkan saksi misalnya, jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi dari kepolisian atas kasus narkotika, maka segala pakaian dan atribut senjata polisi yang bersangkutan, harus diletakkan di kantor kejaksaaan.
“Meskipun dalam peraturannya polisi harus membawa senjata kemana-mana, tapi jaksa boleh melarangnya, khusus di peradilan,” ujarnya. Menurutnya, hal ini dapat menggambarkan sebuah bentuk penghormatan kepada persidangan, dengan menaati segala ketentuan yang berlaku dalam persidangan. (EDN/ESP)