Menjadikan Agama Sebagai Sumber Kebahagiaan
K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dan Dr. Tuan Guru Bajang (TGB) Muh. Zainul Majdi, Lc., M.A. hadir dalam acara Ngaji Tafsir Al Qur’an yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Kegiatan ini digelar dalam rangka Milad ke-79 UII.
Kajian keislaman yang berlangsung di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII pada Senin (20/6) ini membahas tentang pentingnya menjadikan agama sebagai sumber segala kemudahan dan kebahagiaan. Pembahasan yang dipaparkan oleh kedua penyaji ini mendiskusikan mengenai efektivitas kebahagiaan dalam beragama. Hal ini juga memposisikan Islam sebagai wadah untuk meraih kebahagiaan dan kedamaian itu sendiri.
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T, M.Sc. Ph.D. dalam sambutannya mengemukakan bahwa agama seharusnya dipandang sebagai hal yang membahagiakan, bukan menjelma menjadi hal yang menakutkan apalagi membahayakan.
“Kita harus melantangkan pesan-pesan kegembiraan dengan berbagai macam hal, termasuk majlis ilmiy. Karena kalau kita beragama dengan gembira insyaAllah kita akan lebih mudah dalam menjalankan syariat Allah,” ungkapnya pada acara yang dihadiri lebih dari 1000 peserta itu.
Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, Drs. Suwarsono, M.A. yang juga turut memberikan sambutan mengutarakan kegelisahannya tentang polemik yang menimpa umat Islam di zaman ini. Menurutnya, ditengah kuatnya daya saing berbagai negara berlomba lomba menguasai pasar dunia, negara negara Islam justru membeku, seolah olah kurang antusias untuk berpartisipasi menyaingi negara negara adidaya.
Dalam pemaparannya Gus Baha menanggapi makna kebahagiaan itu sendiri. Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an (LP3iA) ini menceritakan kisah di dalam Al qur’an tentang pertemuan sakral nabi Musa dengan Allah SWT. Yang mana diceritakan bahwa Allah bertanya kepada nabi Musa perihal barang yang dibawa olehnya. Kejadian tersebut menurut Gus Baha supaya nabi Musa merasa damai dan bahagia saat bertemu dengan Allah SWT.
“Jadi menurut banyak pakar analis, Allah itu menghilangkan groginya nabi Musa, sehingga bertanya yang ringan ringan,” ucap Dewan Penasehat Pusat Studi Tafsir Al-Quran dan Hadis UII ini.
Gus Baha juga berpendapat bahwa setiap orang memiliki ciri khas tersendiri dalam menyukai sesuatu, semisal dalam mencintai nabi Muhammad, para sahabat mencintai nabi dengan cara yang berbeda beda.
Disampaikan Gus Baha, ada sahabat yang selalu ingin didekat nabi, tau kegiatan sehari hari nabi bahkan tau lekukan lekukan di wajah nabi. Tapi ada juga sahabat yang jarang bertemu nabi bahkan tidak pernah bertemu nabi dengan berbagai alasan tertentu, seperti halnya takut mengganggu, atau memberi rasa hormat dengan menundukan kepala.
“Jadi agama nggak perlu repot-repot, setiap orang itu memiliki caranya tersendiri dalam mencintai sesuatu, jangan mengira satu bentuk kebahagiaan itu dibentuk dalam satu versi saja,” imbuhnya.
Melanjutkan dari pemaparan Gus Baha, TGB Muh. Zainul Majdi menjelaskan bahwa kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat itu tak lain guna memberikan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Bukti dari kebahagiaan itu tak lain adalah turunnya Al Qur’an atas kemurahan zat Allah yang telah memberikan pedoman hidup bahagia melalui firman-firmannya.
Akan tetapi melihat dari fenomena sosial yang ada, tidak sedikit dari kaum muslim yang membuat agama seolah olah dibungkus menjadi suatu dogma yang menyulitkan. Hal ini yang menjadikan agama terlihat kurang relevan di tengah masayarakat kita.
“Tanpa sadar kita menyulitkan hidup kita dalam bentuk agama. Jadi seolah-olah agama itu menyulitkan. Jika kita merasa sumpek dengan keislaman kita, maka itu bukan salah agama ataupun al Qur’an, tapi itu kekeliruan kita dalam beragama,” jelasnya saat memaparkan materi.
Ketua Umum PB Nahdiatul Wathan Diniyah Islamiyah ini melanjutkan bahwa saat ini banyak dari masyarakat muslim yang memperkarakan persoalan persoalan mubahah/tersier ketimbang perosalan wajib (fardhu ain) ataupun fardhu kifayah.
“Ulama mengatakan bahwa ada istilah agama dibalik-balik. Fardhu kifayah dan fardhu ain ditinggalkan, justru hal-hal yang diboleh bolehkan yang dipersoalkan bahkan dibahas habis-habisan,” tukas Gubernur Nusa Tenggara Barat periode 2008-2013 dan 2013-2018 itu. (AMG/RS)