Menjadi Entrepreneur di Era Digital
Pandemi Covid-19 telah ‘memporak-porandakan’ aktivitas perekonomian dunia. Kondisi ini memaksa para pelaku bisnis melakukan berbagai inovasi untuk dapat bertahan di tengah keterbatasan. Inovasi menjadi tolak ukur melihat siapa yang mampu mempertahankan eksistensi bisnisnya. Hal ini dikemukakan dosen Akuntansi Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga Direktur Utama Global Prima Utama (UIINet), Primanita Setyono, MBA., Ak., CA., CMA dalam kegiatan webinar bertajuk Digital Business Transformation for Young Entrepreneur #01, pada Rabu (15/7).
Salah satu inovasi dalam aktivitas bisnis adalah transformasi digital. Transformasi digital secara sederhana diartikan sebagai perubahan dari bentuk analog ke dalam bentuk digital. Diutarakan Asep Bagja Priandana – CEO Tanibox OU yang juga Alumni Akuntansi UII, bahwa perkembangan pengguna internet yang semakin pesat setiap tahunnya membuat bisnis berbasis digital menjadi peluang yang cukup menjanjikan saat ini. Bisnis digital dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu campuran fisik dan digital, serta murni digital.
“E-commerce, layanan pengantaran, ritel 2.0, infrastructure-as-a-service, third party logistic, layanan berlangganan merupakan contoh dari jenis bisnis campuran fisik dan digital. Sedangkan e-book, software as-a-service, dan podcast merupakan contoh dari jenis bisnis murni digital,” imbuhnya.
Asep Bagja Priandana mengungkapkan, inovasi pun harus dijalankan untuk mengikuti arus perkembangan zaman. Aktivitas bisnis saat ini sangat dipengaruhi oleh teknologi. Semakin berada di daerah yang maju (perkotaan), maka makin tinggi pula tingkat pengaruh dari teknologi bagi aktivitas bisnis. Bukti nyata saat ini sudah banyak aktivitas yang mulai tergantikan oleh digital, seperti aktivitas check-in tiket pesawat, pembayaran di supermarket, pengecekan paspor dan lain-lain.
Selain itu, model bisnis pun ikut berkembang dengan bermunculan model mobile application seperti gojek, grab, halo doctor, dan lain sebagainya. Perkembangan model bisnis lainnya adalah model sharing economy yang bisa dicerminkan melalui banyaknya iklan yang ditempatkan di dalam suatu aplikasi seperti youtube atau aplikasi gaming. Perkembangan ini tentu tak lepas dari peran manusia, saat ini mulai banyak anak muda yang merambah menjadi seorang entrepreneur.
Primanita Setyono menuturkan, modal utama yang wajib dimiliki oleh young entrepreneur adalah ‘brain and creativity’. Brain dicerminkan dari seberapa besar wawasan atau pengetahuan yang ia miliki. Sedangkan creativity diukur dari keberaniannya mengambil segala resiko.
Sebagai young entrepreneur tentu ada tantangan tersendiri dalam memulai suatu bisnis digital. Karenanya, Asep Bagja Priandana memberikan pemaparan mengenai komposisi tim yang ideal dalam memulai bisnis digital, komposisi itu terdiri dari tiga peran utama. Yang pertama adalah hipster, yang akan berperan dalam proses marketing, branding, user experience, serta user interface.
Kedua adalah hacker, yang akan berperan dalam melakukan pengembangan infrastruktur website dan coding. Kemudian yang ketiga adalah hustler, berperan dalam proses penjualan dan analisis keuangan. Dalam beberapa bisnis startup, biasanya akan ditambahkan peran hound untuk melakukan riset pasar dan riset konsumen.
Menurut Asep Bagja Priandana, ketika kita tidak dapat memenuhi komposisi ideal tersebut atau tidak mampu menjalankan seluruh peran sekaligus maka dapat disiasati dengan berbagai cara, di antaranya adalah mencari teman yang memiliki keterampilan yang saling melengkapi. Selain itu kita juga dapat menyederhanakan model bisnis yang dapat disesuaikan dengan kemampuan. Ketika aktivitas bisnis sudah berjalan dan arus keuangan sudah aman, barulah kita mengembangkan bisnis tersebut.
“Hal lain yang dapat dilakukan adalah merekrut pekerja lepas ketika memiliki dana lebih. Saat ini, mencari pekerja lepas sudah bukanlah hal yang sulit, apalagi dengan adanya website yang menyediakan informasi tentang pekerja lepas,” ungkapnya.
Tak hanya bisnis berbasis digital, seluruh aktivitas bisnis perlu diawali dengan riset pasar. Seperti yang dilakukan Asep Bagja Priandana sebelum mendirikan bisnisnya yaitu Tanibox yang berbentuk software untuk manajemen dan monitoring perkebunan, ia melakukan riset pasar terlebih dahulu. Di mana riset pasar tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Estonia lah yang tepat untuk dijadikan wilayah bisnisnya.
Selain karena interaksi yang baik dari masyarakatnya, namun juga kemampuan daya beli masyarakat untuk software di Estonia yang lebih besar dibandingkan di Indonesia. Ketika riset pasar sudah dilakukan, barulah bisa ditetapkan harga dari setiap produk yang ditawarkan dan dilakukan pemasaran. (VTR/RS)