Menjadi Akademisi Yang Kritis dan Adil Berpikir

Critical thinking merupakan salah satu kemampuan penting yang akan membantu bekerja di masa depan. Kemampuan berpikir kritis tidak hanya membantu menyelesaikan permasalahan kompleks namun juga mengkritisi secara tajam sebuah gagasan. Pembahasan ekstensif mengenai critical thinking menjadi topik utama yang memayungi workshop yang diadakan Universitas Islam Indonesia (UII) Learning Center pada Sabtu, (18/05) di Ruang Audiovisual, Gedung Rektorat UII.

Workshop bertajuk ‘Being A Critical Thinker’ ini menghadirkan Riefki Fajar Ganda Wiguna, S.Pd., Astari Husna Masitha, B.Soc.Sc., Ginanjar Gailea, M.A., serta Anandayu Suri Ardini, S.S., M.A sebagai pembicara.

Di sesi pertama, Riefki mendefinisikan ulang kata ‘berpikir’. “Apa itu critical thinking?”, tanya Riefki. Ia kemudian lanjut bertanya pada peserta. “Apakah kalian waktu kecil pernah bertanya kepada orang tua kalian, kenapa warna langit itu biru?” tanya Riefki kepada peserta. Ia lalu menyampaikan bahwa critical thinking merupakan proses berpikir secara sistematis dalam rangka untuk memahami dunia.

Ginanjar pada sesi dua menyampaikan teknis bagaimana membuat sebuah argumen. Pada dasarnya argumen dibuat dalam rangka untuk membujuk, menggiring, ataupun mempertahankan suatu pernyataan. “Argumen memiliki dua komponen penting, yakni konklusi dan premis,” jelas Ginanjar. Pada penjelasan Ginanjar, konklusi adalah pernyataan klaim, sedangkan premis adalah pernyataan yang mendukung klaim tersebut.

Astari kemudian mengungkap bahwa selain mempertajam argumen, kemampuan berpikir kritis membantu membuat keputusan dengan sudut pandang yang lebih holistik. Ia lalu menjelaskan perbedaan mendasar mengenai fakta dan opini. Fakta adalah sesuatu yang bisa dibuktikan, sedangkan opini adalah pernyataan subjektif yang tidak dapat dibuktikan keabsahannya.

Sedangkan Anandayu menyapaikan materi terkait sesat pikir yang seringkali tidak disadari orang-orang dalam proses berpikir yang berujung pada kekeliruan baik dalam membuat keputusan ataupun dalam menyampaikan pernyataan. Ada sepuluh jenis sesat pikir yang disampaikan oleh Anandayu antara lain yang sering terjadi adalah false dilemma dan bandwagon fallacy.

“False dilemma merupakan sesat pikir dimana ada dua hal terkesan dikotomi dan membingungkan, contohnya seperti pernyataan ‘kalau tidak mendukung pasangan 01, pasti mendukung pasangan 02’, padahal kenyataannya mungkin seseorang bisa mendukung dua-duanya”, Pungkas Anandayu.

Sedangkan bandwagon fallacy sesat pikir dimana sesuatu hal menjadi benar hanya karena ada satu figur yang menganggap itu benar. Contohnya seperti, merk sepatu A bagus hanya karena dibeli dan dipakai oleh presiden, bukan karena bagus dari segi kualitas sepatunya. “Ini merupakan kecacatan dalam proses berpikir yang seringkali tidak kita sadari,” pungkas Anandayu. (IG/ESP)