Menimbang Urgensi RUU KUP di Indonesia
Pemerintah tengah merencanakan pembaharuan kelima atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun, saat draft RUU KUP ini menyebar di masyarakat, ada beberapa kejanggalan yang dirasa bertentangan dengan kesejahteraan masyarakat. Diantaranya ada rancangan terkait pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi sembako dan pendidikan.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan webinar virtual yang bertemakan “Menakar Urgensi RUU KUP Sembako dan Sekolah Kena Pajak?” pada Sabtu (19/6) melalui zoom meeting, dengan mengundang beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya.
Dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Prof. Dr. Jaka Sriyana, S.E., M.Si., Ph.D., mengatakan setidaknya ada tiga hal yang menjadi alasan pemerintah untuk menetapkan penambahan pajak. Pertama, kondisi dan kemampuan fiskal Indonesia yang beberapa tahun ini terus mengalami penurunan, dan bahkan angka pendapatan negera lebih rendah dibandingkan angka pengeluaran negara.
“Jumlah penerimaan pajak yang terjadi terus-menerus inilah yang kemungkinan menjadi salah satu alasan untuk menambah pajak baru di RUU KUP ini,” ujarnya.
Kedua, tax ratio Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tax ratio terendah di Asia. Ketiga, agenda percepatan pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi.
Namun, menurutnya penetapan kebijakan untuk menambah pajak baru ini bukanlah hal yang tepat. Hal ini dikarenakan dalam menentukan kebijakan terkait pajak baru, setidaknya harus memenuhi empat asas pajak. Pertama equalitiy, berarti adil dan merata. Dalam pelaksanaannya wajib pajak ini harus dilakukan dengan adil dan merata. Jika melihat pada wacana pemerintah untuk memberikan tarif pajak pada sembako, tentunya hal ini akan mempengaruhi harga sembako yang pada akhirnya akan berdampak pada menurunnya kemampuan masyarakat tingkat rendah untuk membeli. “Nantinya hal ini akan menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin besar,” ucapnya.
Kedua certainty, berarti kepastian. Berdasarkan undang-undang yang dilaksanakan. Pajak dilaksanakan harus sesuai dengan amanat UU untuk senantiasa menjadi landasan dalam pelaksanaannya.
Ketiga convenience berarti tidak menyulitkan wajib pajak. Penambahan pajak baru pada sembako dan pendidikan tentunya melanggar ketentuan asas ini, dikarenakan hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat untuk membeli bahan sembako ataupun membayar biaya pendidikan yang akan bertambah mahal dengan penetapan tarif pajak, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Keempat, economy berarti efisien dan menjadi insentif bagi perekonomian negara. RUU KUP tentu bertentangan dengan asas ini, jika penambahan pajak baru ini ditetapkan, akibatnya akan menimbulkan peningkatan biaya produksi, dengan demikian malah akan menurunkan efesiensi dan sumber daya ekonomi di Indonesia.
Selain itu, kebijakan pajak juga dilaksanakan harus berdasar pada empat fungsi, yaitu anggaran (budgetair), mengatur (regulasi), pendapatan (redistribusi), dan stabilitas. Dari keempat fungsi ini, menurut Jaka, wacana penetapan pajak baru hanya akan memenuhi fungsi budgetair saja. Hal ini tentunya tidak seimbang antara dampak negatif dan dampak positif yang akan dihasilkan.
Dengan demikian, menurutnya, pemerintah seharusnya melakukan pengecekan kembali terkait apa yang menyebabkan jumlah pendapatan pajak Indonesia terus mengalami penurunan dan melakukan intensifikasi, serta berfokus pada pengenaan PPN atas kegiatan seperti impor, perusahaan, property, dll, bukan malah memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah dengan wacana penetapan pajak baru.
Advokat Pajak & Komisioner BPSK DIY, Intan Nur Rahmawanti, S.H., M.H., CPL.CPCLE.CTA mengatakan wacana pemerintah untuk menambah pajak baru tentu akan menambah kesulitan masyarakat. “Pada saat seperti ini operasi pemerintah untuk membagikan subsidi sembako tentu lebih dibutuhkan masyarakat, dibandingkan dengan wacana penetapan pajak baru,” ujarnya.
Menurut Intan, rencana pemerintah menetapkan PPN atas pendidikan dan sembako dengan tujuan hanya untuk mendongkrak perekonomian negara, apabila dikaitkan dengan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tentu sangat tidak tepat. Sembako seharusnya sudah menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.
Selain itu, wacana penetapan pajak baru juga bertentangan dengan asas-asas perlindungan konsumen yang terangkum dalam Pasal 2 UU Perlinkos, yang meliputi asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Intan mengatakan, pihaknya sangat menolak RUU KUP ini. “Apabila nantinya RUU KUP akan tetap disahkan oleh pemerintah maka kami akan melakukan somasi,” ujarnya.
Selanjutnya, Dosen FH UII, Siti Rahma Novikasari, S.H., M.H. mengatakan, politik hukum dari RUU KUP ini, ditujukan sebagai upaya penanggulangan. Jika dilihat secara legal formil wacana penetapan pajak baru, dapat dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23A UUD 1945. Namun, hal ini tentu tidak semata-mata hanya melihat pada hukum positif yang ada di Indonesia saja, melainkan juga harus melihat kepada aspek lainnya dalam pembuatan suatu kebijakan, seperti aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Terkait tariff PPN, Siti Rahma juga mengatakan dalam RUU KUP ini, pemerintah akan melaksanakan sistem multitarif dengan minimal 5% dan maksimal 15%, berbeda dengan pentapan tarif PPN sebelumnya menggunakan sistem tariff tunggal yakni 10% yang terdapat dalam Pasal 7 UU PPN.
Menurutnya ada tiga pilar sistem perpajakan yang harus dipenuhi dalam pembentukan RUU KUP ini. Pertama, Tax Policy, arah kebijakannnya harus didasarkan pada kebijaksanaan yang bercorak demokratis. Dalam hal ini, ada inkonsistensi pemerintah dalam pembentukan RUU KUP ini.
Pemerintah ingin meringankan pajak bagi masyarakat, namun di sisi lain pemerintah melakukan upaya untuk meningkatkan pendapatan pajak negara yang dilakukan di bawah meja, dalam artian tanpa dikatahui masyarakat. “Hal ini berdasarkan ucapan pemerintah yang mengatakan ‘bocor’ saat RUU KUP ini tersebar di kalangan masyarakat. Padahal seharusnya pemerintah dalam membuat suatu kebijakan harus ada unsur keterlibatan masyarakat,” ujarnya.
Kedua, Tax Law, kejelasan pengaturan, kepastian hukum dan keadilan harus dipenuhi. Dalam pembentukannya, RUU KUP ini menggunakan metode omnibus law yang dalam draftnya menghapus beberapa barang yang dikecualikan wajib pajak, seperti pendidikan dan sembako. Dalam hal ini, perlu ditetapkan kategori/indikator sembako atau pendidikan bagaimana yang akan dikenakan PPN nantinya.
Ketiga, Tax Administration, peningkatan basis PPN tentunya akan meningkatkan jumlah pengusaha wajib pajak. Sedangkan, Indonesia sebagai negara berkembang voluntary tax compliance atau rasa wajib pajak di masyarakat masih sulit untuk tercapai, sehingga hal ini akan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Indonesia terkait efesiensi dari wacana kebijakan ini.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan menolak rencana pemerintah untuk mengenakan PPN baik pada kebutuhan pokok, kesehatan, maupun sekolah. Tulus mangatakan,
Menurut Tulus PPN terhadap pendidikan itu tidak pantas. Karena seharusnya, pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah. Bahkan adanya sekolah swasta pun didirikan karena pemerintah tidak mempu mendirikan sekolah secara penuh untuk seluruh masyarakat. “Karena, jika negara mampu, tentu tidak akan bermunculan sekolah-sekolah swasta. Selain itu, Pendidikan adalah hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam konstitusi, yang seharusnya juga dijamin oleh negara,” ujarnya.
Selain itu, menurut Tulus PPN atas biaya kesehatan juga sangat tidak tepat. Hal ini dikarenakan akan membuka peluang eksploitasi bagi pasien dari tenaga kesehatan atau rumah sakit nantinya.
“Misalnya, ada pasien yang harusnya tidak disuntik, malah disuntik. Ada pasien yang seharusnya tidak dironsen, malah dironsen. Tujuannya untuk mengembalikan modal dari alat-alat kesehatan yang mahal dan dikenai pajak itu,” ujarnya.
Tulus juga mengatakan, seharusnya pemerintah bisa mengoptimalkan pada cukai yang masih sangat berlimpah, seperti rokok, alkohol, minuman bersoda, minuman keras, dll. Sehingga selain dapat meningkatkan pendapatan pajak negara, pemerintah juga dapat mengontrol pengendalian barang-barang cukai ini di Indonesia. (EDN/RS)