Menimbang Ulang Kebijakan New Normal
Pemerintah Indonesia mencanangkan kebijakan “New Normal” yang akan diberlakukan di 25 kabupaten/kota yang tersebar di empat provinsi. Kebijakan ini diterapkan selama belum ditemukannya vaksin virus Corona. Sontak muncul pro dan kontra di berbagai kalangan karena menilai masyarakat Indonesia belum siap. Namun di sisi lain perekonomian harus tetap berjalan meski di tengah pandemi. Untuk menelaah hal ini, Dewan Pimpinan Pusat lkatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (DPP IKA UII) mengadakan webinar berjudul “Mengkritisi New Normal” pada hari Sabtu (6/7).
Diskusi menghadirkan narasumber dari berbagai bidang, seperti dr. Linda Rosita, M.Kes., Sp.PK. selaku Dekan Fakultas Kedokteran UII (aspek kesehatan), Marwan Jafar sebagai Anggota DPR RI Komisi 6 FPKB (aspek Sosial-Politik), dan Drs. H. Syafaruddin Alwi, M. S. sebagai Dewan Pengawas Bank Syariah UII (aspek Ekonomi).
dr. Linda meluruskan terlebih dahulu anggapan bahwa pandemi Covid-19 ini adalah sebuah konspirasi global. “Pandemi ini sudah diramalkan oleh para ahli saintis. Covid-19 atau nama lainnya, SARS CoV-2 merupakan mutasi dari virus SARS CoV yang terjadi pada tahun 2003 dan MERS CoV pada tahun 2012”, jelasnya.
Selanjutnya, ia juga menjelaskan kebijakan new normal perlu merujuk pada enam rekomendasi WHO. Semua orang harus memprioritaskan kesehatan dan dibutuhkan kekompakan berbagai elemen masyarakat, pemerintah, dan pelayanan kesehatan “Semua kelompok maupun elemen masyarakat harus disiplin terlebih dahulu, karena jika satu saja kelompok atau individu tidak disiplin maka sama saja sulit menekan penyebaran virus ini”, tegasnya.
Selain itu, kebijakan juga harus diiringi dengan memperkuat sistem kesehatan nasional, baik dari segi SDM maupun fasilitas laboratorium dan perawatan. Ia berpesan pentingnya saling mengingatkan kepada orang terdekat di rumah maupun orang lain di luar rumah untuk mengutamakan upaya-upaya kesehatan, termasuk kesehatan mental.
Sementara itu, dari aspek ekonomi, Syafaruddin Alwi menyatakan ada empat dampak kesehatan ke ekonomi yang harus diperhatikan. Di antaranya: pertama, kesehatan yang relatif terjamin membuat masyarakat bergairah menjalankan ekonomi, kedua pemerintah menjamin pergerakan barang dan jasa tidak terganggu antar wilayah dan antar pulau, ketiga menjamin pengangguran untuk mendapatkan pekerjaan kembali, dan yang terakhir memperkuat ketahanan ekonomi nasional yang berfokus pada ekonomi bawah.
“Agar keempat hal tersebut berjalan, kuncinya adalah merumuskan kebijakan dengan baik. Jika terjadi musibah besar, ekonomi Islam ataupun syariah akan berperan besar terutama di zakat ataupun sadaqah”. tutupnya.
Adapun dari aspek sosial-politik, Marwan Jafar menyebut New Normal ini memiliki banyak persyaratan seperti ketersediaan alat-alat kesehatan, ketersediaan rumah sakit rujukan, obat-obatan, dan tenaga medis. “Namun di dalam pemerintahan target test untuk Covid-19 tidak pernah mencapai target. Perlu ditinjau ada laporan media massa yang menulis bahwa alat test sedang langka. Itulah penyebab utama laporan kasus menjadi melandai”, jelasnya.
Selain itu, dana yang dialokasikan untuk pandemi ini adalah 75 triliun rupiah. Dana sebesar itu harus diawasi agar bersih dari kebocoran. “Sayangnya, dana bansos mengalami banyak laporan kasus penyalahgunaan dana, sehingga terakhir update penyebaran penerima bansos baru 60%. Hal ini mengindikasikan pemerintah belum siap”, ungkapnya.
Terakhir adalah masih bermasalahnya integrasi antar lembaga pemerintah, bisa dilihat dari data selalu berbeda antar lembaga sehingga sulit mendapatkan data yang bisa dipercaya. Pemerintah sebaiknya lebih mengutamakan satu pintu data sebagai sumber rujukan bagi semua pihak yang berkepentingan. (MH/ESP)