Menilik Potret dan Tantangan Hukum Indonesia ke Depan
Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSH FH UII) menyelenggarakan acara Refleksi Akhir Tahun Bidang Hukum dengan tema “Potret dan Tantangan ke Depan” di ruang Auditorium Gedung FH UII pada Kamis (22/12). Acara ini mengangkat empat isu besar, di antaranya Meaningful Participation dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Ancaman Resesi Ekonomi terhadap Gelombang PHK, Krisis Kemunduran dan Titik Balik Pembaharuan Alat dan Lembaga Negara, dan Tragedi Kanjuruhan dan Masa Depan Hukum Olahraga di Indonesia.
Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. selaku Dekan FH UII mengatakan bahwa sepanjang tahun 2022 telah terjadi banyak peristiwa hukum, baik yang berkesan negatif maupun positif. Menurutnya, sudah seharusnya bagi orang hukum untuk merenungkan kembali peristiwa-peristiwa hukum tersebut untuk dilakukan evaluasi dan perbaikan di tahun yang 2023 mendatang.
“Semoga dengan hadirnya para narasumber yang sangat kredibel untuk menyampaikan peristiwa hukum nanti, kita semua bisa melakukan refleksi hukum secara mendalam, sekaligus kita bisa meningkatkan kesadaran hukum kita, kita bisa memperbaiki hukum kita di masa-masa yang akan datang,” ujarnya.
Mengawali penyampaian materi yang pertama, Guru Besar Hukum Tata Negara FH UII, Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. mengatakan bahwa Indonesia saat ini tengah mengalami kemunduran demokrasi. Hal ini dikarenakan masyarakat yang seharusnya dilibatkan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mengalami kemunduran. “Rakyat itu ditinggalkan, sehingga kalau kita ingin bicara meaningful participation itu masih jauh, masih sangat jauh,” ujarnya.
Ia menyoroti beberapa hal yang menunjukan mundurnya demokrasi yang dibuktikan dengan beberapa peristiwa seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) direduksi, undang-undang dibuat dengan serba cepat, adanya penjatuhan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), menjadikan peradilan/mahkamah sebagai senjata untuk melindungi kepentingannya, membeli dan menguasai media massa untuk menjadi alat kampanye ideologi kekuasaan, mengubah aturan politik sesuka hati agar memuluskan semua keinginan dan melanggengkan kekuasaannya, dll.
Setidaknya ada enam undang-undang yang dibuat dalam waktu 5-9 hari selama tahun 2022. Lebih dari itu, menurut Ni’matul Huda undang-undang yang dibentuk dengan proses yang sangat cepat ini mengalami beberapa persoalan, seperti kurang mencerminkan substansi pendewasaan demokrasi, perwujudan negara hukum yang sehat, dan menuju perwujudan keadilan sosial.
“Yang kita lihat kan menyimpang, rakyatnya ngga mau dengan model seperti itu fast track legislation, kita minta dilibatkan partisipasinya. Ternyata mereka jalan terus, dalam kondisi senyap tengah malam kemudian diputuskan UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Selanjutnya, dari segi hukum ketenagakerjaan, Guru Besar FH UGM, Prof. Dr. Ari Hermawan, S.H., M.Hum. menyampaikan bahwa jika melihat pada krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia pernah mengalami inflasi tinggi. Krisis ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi rendah, sehingga menimbulkan jumlah pengangguran yang cukup besar. Di sisi lain, Indonesia juga mengalami bonus demografi yang memaksa angkatan kerja Indonesia untuk naik. Berpacu pada fenomena ini, menurut Ari Hermawan ada dua hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu menarik investor dari luar atau melakukan pinjaman luar negeri.
Meski demikian, dua hal ini bukan suatu yang mudah untuk dilakukan. Pasalnya untuk melakukan itu, Indonesia harus dapat memperoleh kepercayaan internasional dan akan memiliki tekanan ekonomi politik, yaitu ekonomi yang kompetitif dan terintegrasi oleh liberalisasi ekonomi dan demokratisasi. Hal inilah yang kemudian menimbulkan terjadinya potongan pajak dan pasar kerja fleksibel dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia.
Dengan adanya fleksibilitas pasar kerja ini, kemudian lahir UU No 12 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dalam pasalnya mengatur terkait dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dan outsourcing. Lebih dari itu menurut Ari Hermawan, fleksibilitas ini pada praktiknya juga berpengaruh pada faktor internal, yaitu fleksibilitas yang berkaitan dengan waktu kerja.
Menurut Ari Hermawan, adanya fleksibilitas ini kemudian tidak selamanya menguntungkan. Hal ini dikarenakan adanya fleksibilitas pada akhirnya menimbulkan suatu hubungan kerja yang bersifat non-standar atau non-profesional, yakni tidak mengikuti aturan main pada umumnya. “Itu pada akhirnya menggerus, menggeser unsur-unsur dari hubungan kerja,” ucapnya.
Fleksibilitas ini kemudian menjadikan teknologi sebagai alat untuk mengontrol para pekerja. Pekerja yang tidak dapat mengikuti pasar kerja akan akan dirugikan sebab mereka akan kehilangan bonus dan upahnya. Hasilnya, terjadi PHK besar-besaran.
“Jadi di bawah tekanan dan kontrol yang ketat pekerja itu. Kelihatannya keren gitu kan, oh bebas nggak akan kerja saya nggak papa, saya bisa istirahat. Tapi begitu dia istirahat, dia nggak akan dapat apapun. Karena dasarnya bukan waktu, tapi berapa pekerjaan yang dia hasilkan, berapa produk jasa yang dia hasilkan,” ujarnya.
Lebih lanjut saat ini, ekonomi menjadi sebuah tolak ukur bagi pemerintah dalam mengeluarkan sebuah kebijakan. Kebijakan ketenagakerjaan harus berpatok pada kebijakan ekonomi. Sehingga, menimbulkan sebuah pergeseran dari yang awalnya tenaga kerja merupakan tanggung jawab negara bergeser menjadi hubungan privat yang resikonya tergantung pada pembuat kesepakatan.
Hal ini menurut Ari Hermawan adalah hal yang perlu diperbaiki. Negara seharusnya dapat menjangkau resesi ekonomi dan memberikan perlindungan kepada para tenaga kerja. Negara harus turut campur tangan terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dari start up-start up yang merupakan produk inisiasi dan didorong oleh negara itu sendiri, untuk dapat melindungi hak para tenaga kerja. (EDN/ESP)