Menilik Konflik Agraria dalam Pusaran Proyek Strategis Nasional
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH UII) menyelenggarakan diskusi aktual dengan tema “Konflik Agraria dalam Pusaran Proyek Strategis Nasional”. Diskusi ini digelar pada Sabtu, (26/2) dengan mengundang para pemateri yang kompeten di bidangnya yakni Satrio Manggala yang merupakan Manager Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI. Hadir pula sebagai pemateri Direktur Pusat Studi Hukum Agraria FH UII, Mukmin Zakie, S.H., M.Hum., Ph.D.
Dalam acara yang diselenggarakan melalui Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung melalui kanal youtube LKBH FH UII ini, Satrio dalam materinya menyampaikan bahwa pihaknya menyoroti kurang lebih empat faktor dari kebijakan pemerintah terkait dengan adanya konflik agraria dalam proyek strategis nasional.
Pertama, proyek strategi nasional menggunakan skema pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Menurutnya hal ini cukup memaksakan karena adanya keistimewaan demi kepentingan hukum ini digunakan untuk mengambil alih tanah-tanah masyarakat. Lebih lanjut, tanah-tanah yang digunakan adalah lahan-lahan produktif yang digunakan masyarakat yang berpofesi sebagai petani.
Kedua, adanya ketidakpatuhan terhadap kebijakan soal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini berkaitan dengan proses sebelum pengadaan tanah, seharusnya wajib dilakukan analisis dampak lingkungan (Amdal). Namun, dalam pelaksanaannya ini terdapat ketidakonsistenan pemerintah dalam menerapkannya. Amdal bisa jadi diterapkan di awal atau di akhir pengadaan tanah.
Ketiga, adanya perubahan terhadap mekanisme perencaan tata ruang yang menyesuaikan dengan kepentingan target atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Sehingga menurut Satrio hal ini menimbulkan perubahan-perubahan yang tergantung pada keinginan pemerintah. Padahal seharusnya peraturan soal penataan ruang ini menjadi acuan seluruh pembangunan yang ada.
“Apalagi sekarang setelah Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) jelas itu menjadi legal untuk kemudian diharmonisasi, bahasanya disesuaikan dengan projek-projek yang ditangani oleh pemerintah,” ujar Satrio.
Keempat, terkait dengan skema pendanaan dan kerjasama badan usaha di projek fasilitas publik. Satrio memaparkan di tahun 2021 setidaknya terdapat 52 kasus yang menggambarkan adanya peningkatan konflik dalam sektor infrastruktur, dan 38 kasusnya merupakan program strategis nasional. Selain itu, ia juga menyoroti beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang turut melegitimasi adanya penggunaan lahan untuk mendukung projek pemerintah.
Lebih lanjut, disampaikan Satrio, UU Cipta Kerja juga menghapus beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan tata ruang. Salah satu contohnya yaitu UU No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Pasal 7 ayat (2) terkait ketentuan untuk mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% bagi Jawa-Bali telah dihapus melalui UU Cipta Kerja.
Satrio juga berpendapat bahwa pemerintah belum melakukan evaluasi terhadap pendayagunaan uang ganti rugi atas tanah milik warga yang digunakan untuk kepentingan umum. Hal ini membuat masyarakat kerap kali kehilangan pekerjaan dan sumber pencahariannya karena tanah yang biasanya digunakan untuk menghidupi kehidupannya sudah tak ada lagi.
Menurut Satrio, pemerintah perlu memikirkan terkait hal ini, sehingga tindakan ganti rugi tanah warga tak hanya sebatas pemberian uang saja, melainkan juga pemerintah harus turut memikirkan dan mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti tanah pengganti atau sumber pencaharian pengganti bagi warga yang tanahnya digunakan untuk kepentingan umum.
Selanjutnya, Mukmin Zakie menyampaikan bahwa terdapat beberapa persoalam terkait pengadaan tanah. Salah satu contohnya terkait dengan Izin Penetapan Lokasi (IPL). IPL sendiri merupakan izin yang diberikan kepada pemerintah yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan/atau lembaga negara lainnya yang menggunakan anggaran pemerintah untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum selain dengan rencana tata ruang wilayah. IPL dikeluarkan biasanya dikeluarkan oleh Gubernur untuk tujuan pengadaan tanah.
IPL dalam pengeluarannya melibatkan konsultasi publik. Konsultasi publik berdasarkan UU No 02 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diartikan sebagai kegiatan dialog yang memiliki hubungan timbal balik dalam mengeluarkan pendapat, sehingga mencapai sebuah kemufakatan. Namun, menurut Mukmin yang terjadi saat ini tidak demikian, bahkan cenderung dimanipulatif dengan pengadaan pertemuan untuk menandatangi sesuatu tanpa adanya dialog penyampaian pendapat.
Mukmin menjelaskan, adanya IPL ini merupakan bagian dari mekanisme sistem pengadaan tanah. IPL merupakan tahap kedua dalam tahap persiapan pengadaan tanah, setelah adanya kesepakatan dari kegiatan konsultasi publik. Pada tahap ketiga, pemerintah kemudian melakukan persiapan untuk menetapkan lokasi pembangunan yang dilakukan oleh Gubernur daerah setempat.
Ia mencontohkan, dalam kasus Wadas, yang menjadi persoalan yakni adanya penyamaan sistem untuk penetapan lokasi dengan bendungan. Seharusnya, izin lokasi pertambangan yang mengikuti UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini tetap wajib untuk memiliki amdal, izin pertambangan, izin lokasi, dll. Hal ini disebabkan pengadaan proyek tersebut digunakan untuk proyek perusahaan atau proyek pribadi, bukan untuk kepentingan umum. “Nah, dijadikannya satu inilah yang kemudian menjadi kisruh,” ujarnya.
Terakhir, Mukmin memaparkan bahwa pengaturan terkait pertambangan dalam Pasal 10 UU No 2 Tahun 2012 itu tidak ada, yang ada hanya infrastruktur untuk migas dan tanah bumi. Sedangkan, pertambangan ini bukan merupakan bagian dari kepentingan umum. Untuk itu, ia berpendapat bahwa dalam persiapan penggunaan lahan untuk pertambangan seharusnya tidak menggunakan mekanisme pengadaan tanah, melainkan menggunakan mekanisme jual beli. Dalam sistem jual beli, tidak boleh adanya tindakan paksaan untuk warga masyarakat untuk melepaskan tanah yang mereka miliki.
Lebih lanjut, Mukmin menjelaskan, apabila terjadi tindakan paksaan terhadap warga masyarakat untuk menandatangani persetujuan pengambilan lahan oleh pemerintah, maka ini merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) warga masyarakat. Hal ini selaras dengan adanya investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM, yang menyatakan bahwa adanya pelanggaran HAM atau terdapat kesalahan prosedur dalam sistem pengadaan tanah yang dilakukan pemerintah terhadap warga masyarakat di Wadas. Dengan ini, Mukmin merekomendasikan perlu adanya pembedaan antara mekanisma izin lokasi untuk pertambangan dengan IPL untuk pengadaan tanah. (EDN/RS)