Menilik Historis Keislaman UII
Direktorat Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan bedah disertasi berjudul Dinamika dan Strategi Penguatan Identitas Keislaman di UII Yogyakarta (Telaah Historis) pada Kamis (11/2) secara daring. Bedah disertasi yang ditulis oleh Pengasuh Pondok Pesantren Putra UII, Dr. Suyanto, S.Ag., M.S.I., M.Pd. ini menghadirkan Sekretaris Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, Dr. Muhammad Syamsudin, S.H., M.H. dan Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII, Kurniawan Dwi Saputra, Lc., M.Hum.
Direktur Pondok Pesantren UII, Dr. Drs. Asmuni, M.A. menilai disertasi yang telah diselesaikan oleh penulis menarik karena membaca sebuah fenomena historis yang ada di UII. Menurutnya, identitas keislaman itu berangkat dari hal yang sifatnya keberagaman. Berawal dari keberagaman mampu menentukan materi identitas yang akan dicari. Persoalan identitas ini nantinya yang akan membentuk muslim intelektual. Lebih lanjut ia menjelaskan bagaimana muslim intelektual mampu mengintegrasikan peradaban akal dan nafs dalam bingkai peradaban wahyu.
Suyanto menjabarkan identitas keislaman yang digagas dalam penelitiannya adalah identitas korporasi secara kelembagaan yang dikonstruksi dari nilai Islam. “Itu merupakan konstruksi awal dari semangat awal pendirian hingga visinya sekarang,” sebutnya.
Perspektifnya mengamini bahwa UII salah satu institusi yang tumbuh dengan begitu cepat. Lahirnya dapat dinilai sebagai bentuk pembaharuan dari pendidikan Islam. Meskipun demikian, tidak menutup akan perubahan yang terjadi dalam perjalanan kampus perjuangan itu sendiri. “Transisi kita maknai sebagai instabilitas menuju stabilitas,” paparnya.
Perihal dalam mencapai stabilitas juga turut menjadi pokok bahasan Kurniawan selaku pembedah pada diskusi ini. Ia mencoba membaca melalui perspektif dan psikoanalisa yang berbeda. Ditemukan bahwa UII menghadapi hegemoni yang sangat pluralistik dan menghadirkan keislaman di Indonesia. Proses konstruksi identitas itu sendiri dianalisa menggunakan Proses Konstruksi Identitas Jacques Lacan; fase cermin, simbolik, dan riil.
Di fase cermin diibaratkan sebagai ketidakpuasan terhadap situasi. Berangkat dari bercermin itu dapat membentuk imajinasi lalu berujung pada pembentukan citra diri. “Para founding fathers mencoba merumuskan identitas untuk menjawab kekosongan umat yaitu perlunya lembaga pendidikan tinggi ketika Indonesia bangun di tengah maraknya sekolah non-Islam,” tandasnya.
Beranjak ke fase riil yang mana berbicara mengenai penguatan nilai keislaman, digitalisasi, dan berbicara institusi itu sendiri, “Yang mana dari ketiga instrumen itu dapat menghadirkan keharmonisan,” ujar Kurniawan
Lebih lanjut, Kurniawan mencatat beberapa poin yang dianggapnya penting. Pemaknaan transformasi kampus itu sendiri dianggap penting dalam merekonstruksi nilai keislaman yang ada di UII. Penulis memetakan tiga tahapan penting dalam menggambarkan kondisi transformasi yang ada. Tahap pertama sebagai tahapan Islam progresif yang mana merupakan tahap awal dari pergerakan Islam itu sendiri.
Lalu yang kedua adanya konsolidasi nasional atau adaptive Islam. Pada fase ini, kampus UII mampu tumbuh dengan mengalami banyak sekali dinamika di dalamnya. Terakhir, tahap ketiga yang mana modernisasi dan globalisasi atau living Islam. Kurniawan menemukan praktik yang unik dalam membumikan Islam di kampus perjuangan tersebut. Adanya diversifikasi universitas, kegiatan pesantren, Lazis, penguatan kajian keislaman dan lainnya. Hal itu semua dikatakan sebagai suatu konsep yang sangat komprehensif dan holistik.
Sementara itu, Syamsudin yang juga bertindak sebagai pembedah disertasi memberikan catatan khusus dan umum akan isi dari disertasi. Secara umum, ia menganggap karya tulis cukup jelas dan menarik. Selain itu, alur pikiran yang runtut, mengalir, serta substantif menjadikan disertasi ini sangat baik. “Nilai kegunaannya sangat tinggi, baik secara teoretik dan akademik,” ujarnya.
Hal lain yang disorotinya adalah terkait keislaman itu yang ada di kampus itu sendiri. “DNA keislaman di UII itu adalah titik temu, walaupun berpotensi konflik tinggi, apabila dikelola dengan baik saya pikir akan aman-aman saja,” tegasnya.
Secara umum disertasi yang ditulis oleh Suyanto dinilai telah berpegang teguh dengan kaidah karya ilmiah yang sewajarnya. Namun, secara khusus Syamsudin memberikan catatan, disertasi dinilai belum mengeksplorasi gerakan kemahasiswaan UII. “Kajian yang berbasis sejarah itu biasanya berbasis masa lalu dan memproyeksikan masa depan,” tandasnya. (KR/RS)