Menilik Dinamika dan Perkembangan Hukum Pidana di Tahun 2021
Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan webinar refleksi akhir tahun dengan tema “Dinamika dan Perkembangan Hukum Pidana Sepanjang Tahun 2021”. Webinar daring yang diadakan pada hari Jumat (24/12) itu menghadirkan Hanafi Amrani, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H. dan Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H. Ketiganya merupakan para Dosen Hukum Pidana di FH UII.
Dalam webinar ini, Hanafi menyampaikan terkait politik hukum pertanggungjawaban pidana korporasi. Ia mengatakan bahwa korporasi sebagai subjek hukum merupakan badan hasil ciptaan hukum yang terdiri corpus (struktur fisik) dan animus (kepribadian). Dalam melakukan tindakan kejahatannya, korporasi memiliki beberapa karakteristik, diantaranya: 1) dilakukan tanpa kekerasan, 2) disertai dengan kecurangan, 3) penyesatan, 4) penyembunyian kenyataan, 5) manipulasi, 6) pelanggaran, 7) akal-akalan, 8) pengelakan terhadap peraturan.
Kejahatan korporasi ini dapat menimbulkan korban yang tidak sedikit. Dengan demikian, menurutnya pertanggungjawaban pidana korporasi sangat penting untuk dilakukan. Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi menurut Hanafi, dapat diketahui dengan beberapa hal, seperti adanya unsur kesalahan, adanya hubungan antara perbuatan pelaku dengan sikap batinnya berupa kesengajaan atau kealpaan, dan tidak adanya alasan pemaaf.
Selain itu, Hanafi juga mengatakan bahwa tahapan pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dilakukan dengan tiga tahap. Pertama, pengurus sebagai pembuat kesalahan yang bertanggungjawab. Kedua, korporasi sebagai pembuat namun pengurus yang bertanggungjawab. Ketiga, pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
“Sebenarnya korporasi telah secara implisit dikenal sebagai subjek delik, namun pertanggungjawaban pidananya masih dibebankan kepada individu perorangan,” ujarnya. Beberapa ketentuan yang dimaksud terdapat dalam Pasal 169, 398, dan 399 KUHP.
Selanjutnya, Aroma Elmina menjabarkan fenomena tindak pidana oleh penegak hukum dalam perspektif kriminologi. Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian, diantaranya menurunkan kehormatan dan martabat negara sebanyak 807 kasus, meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan 283 kasus, menghindari tanggung jawab dinas 258 kasus, menghambat kelancaran tugas dinas 128 kasus, pungutan liar (pungli) 38 kasus, pelanggaran lain 179 kasus, dan lain-lain.
Pelanggaran oleh aparat penegak hukum mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Mengutip dari pendapat Lawrence Cohen And Marcus Felson, Aroma mengatakan unsur-unsur dasar terjadinya tindak pidana yaitu adanya waktu, tempat, obyek dan individu yang mendorong seseorang dalam melakukan tindak kriminal. Selain itu, berdasarkan pada Theory Routine Activity, setidaknya ada tiga syarat terjadinya suatu kejahatan, yaitu: 1) adanya target yang tepat, 2) adanya motivasi pelaku, dan 3) tidak ada upaya penjagaan atau lemahnya pengamanan dan pengawasan.
Sedangkan, Mahrus Ali menyoroti tindak pidana terhadap lingkungan hidup. Kajian-kajian viktimologi memasukkan lingkungan sebagai korban kejahatan. Hal ini secara tidak langsung juga menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang begitu masif. Ia mengatakan bahwa basis teoritis kajian tentang tindak pidana terhadap lingkungan ini didasarkan pada tiga hal, yaitu ekosentrisme, keadilan lintas generasi, pilihan, kualitas, dan akses, serta pembangunan berkelanjutan.
Setidaknya, ada beberapa konsep viktimologi terhadap lingkungan ini, di antaranya: 1) memandang lingkungan sebagai korban kejahatan yang terlepas dari orang perorangan, 2) korban kejahatan manusia (generasi lalu, saat ini, dan mendatang), atas hewan, binatang, dan tumbuhan, serta 3) korban kejahatan lingkungan yang tidak dapat dihitung dan jaraknya bisa terjadi puluhan tahun kemudian sejak tindak pidana pertama dilakukan.
Menurutnya, diperlukan pertanggungjawaban pidana (strict liability) yang berfokus pada delik-delik berkarakter preventive offenses, skema denda untuk memulihkan lingkungan yang rusak, dan sanksi tindakan sebagai sanksi pokok disertai aturan pelaksanaan sanksinya. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam beberapa peraturan di Indonesia, di antaranya UU 32/2009 tentang PPLH, UU 4/2009 jo UU 3/2020 tentang Pertambangan, UU 39/2014 tentang Perkebunan, UU 45/2009 tentang Perikanan, UU 32/2004 tentang Kelautan, UU Penataan Ruang, UU Cipta Kerja, dan UU Pengelolaan Sampah. (EDN/ESP)