,

Menilik Covid-19 dari Aspek Lingkungan

Virus Covid-19 yang tak kunjung usai mendorong berbagai instansi untuk terus melakukan diskusi dan mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang ditimbulkan. Berbagai aspek kehidupan pun sudah merasakan dampak dari Covid-19 ini, termasuk pada aspek lingkungan. Merespon hal ini, Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan (PSL) UII dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi DIY serta didukug oleh Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI) DIY dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) DIY mengadakan webinar melalui teleconference via Zoom pada Sabtu (20/6).

Kepala PSL UII, Dr.-Ing. Ir. Widodo Brontowiyono, M.Sc. menjelaskan bahwa pada zaman dulu suhu bumi dapat mencapai minus (-) derjat Celcius, namun akibat pemicu lingkungan dan pola hidup manusia mengakibatkan suhu bumi plus (+) derajat Celcius. Akibatnya, karena suhu terlalu tinggi tersebut tidak siap diterima makhluk hidup termasuk manusia, timbul lah bencana, bai alam maupun buatan.

Berdasarkan teologi lingkungan, terdapat tiga komponen, yakni Tuhan, manusia, dan alam. Widodo Brontowiyono yang juga dan dosen Program Studi Teknik Lingkungan UII mengatakan bahwa sebagai manusia sebenarnya tidak dapat mengekplorasi alam secara bebas tanpa melibatkan Tuhan. Sebab, alam dan manusia sendiri merupakan ciptaan-Nya, dimana Tuhan melarang setiap hamba-Nya dalam melakukan kerusakan di bumi. Sebagai khalifah bumi, manusia harus pandai dalam mengelola alam, bukan malah menguasainya. “Hubungan antara manusia dengan alam meliputi hubungan keimanan dan peribadatan, hubungan pemanfaatan berkelanjutan, dan hubungan pemeliharaan,” tambahnya.

Revolusi industri memunculkan berbagai kemajuan teknologi yang dibarengi dengan maraknya kehidupan modern setiap orang. Bahkan terdapat indikasi semakin modern seseorang maka semakin ia tidak ramah dan malah terus merusak alam. Perubahan sistem lingkungan membuat terjadinya krisis, terlebih pada masa pandemi sekarang sudah dianggap sebagai era krisis global. Sehingga sudah sangat jelas bahwa wabah Covid-19 memiliki hubungan yang kuat dengan kerusakan lingkungan termasuk iklim. Seperti beberapa penebangan hutan yang dilakukan manusia membuat banyak hewan-hewan liar pembawa virus masuk ke pemukiman warga dan berakibat buruk juga pada ekosistem dalam rantai makanannya.

Berdasarkan peneliti, Christian Walzer, Direktur Eksekutif Wildlife Conservation Society terdapat sekitar 70% penyakit berasal dari satwa liar yang menjadi pemicu proses penularan virus dari hewan ke manusia. Selain itu, menurut Amin Subandrio, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, terdapat lebih 200 jenis virus Covid-19 di dunia yang sebagian besar hidup pada hewan seperti musang, sapi, kelelawar, dan gajah. Dari sebanyak itu hanya tujuh yang dapat menyerang manusia.

Widodo Brontowiyono menganggap bahwa virus Covid-19 menjadi vaksin bumi, namun penyakit bagi manusia. Pada saat ini lah saatnya bumi beristirahat sebentar. Hal ini terlihat pada beberapa perubahan alam, seperti fenomena langit biru di Jakarta, salah satu penyebabnya adalah konsentrasi partikel debu polusi lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu keputusan melakukan upaya lockdown membuat germuruh bumi seperti kebisingan berkurang. Bahkan berdasarkan gambar dari satelit NASA terlihat tingkat polusi di China turun dua bulan pertama tahun 2020. Atmosfer terlihat lebih bersih di kota-kota besar sebab Emisi CO2 dan NO2 yang merupakan penyebab pemanasan global menurun.

Selain perubahan positif yang nampak dari alam, Beni Cahyadi sebagai Sekretaris Umum Asosiasi Pengangkut dan Pengelola B3 dan LB3 mengatakan bahwa Covid-19 membawa dampak negatif yang harus dipetik hikmahnya. Ia membaginya ke dalam tiga isu utama, pertama dalam hal fasilitas kesehatan dan upaya pencegahan. Aspek kesehatan menjadi topik pertama adanya virus Covid-19 yang berimbas pada peningkatan jumlah limbah medis sebesar 30% dari sebelumnya, bahkan di Kalimantan dikatan per April limbah kesehatan mencapai 2,2 ton. Hikmah yang dapat diambil dari kesehatan adalah inovasi dalam pembuatan fasilitas kesehatan oleh setiap kalangan dan memunculkan banyak hasil riset atau kajian mengenai obat serta peralatan kesehatan

Kedua dalam isu pembebasan pergerakan masyarakat dan penutupan bisnis, pandemi memberikan dampak berupa mobilitas berkurang 90%, pengurangan emisi karbon 25%, pengurangan sampah 10-15%, kualitas udara membaik. Namun, pengangguran meningkat. Terakhir dalam isu pembuatan kebijakan dan pembiayaan, pemerintah telah membuat kebijakan dalam waktu singkat dan masif antar lembaga dimana tidak kurang 25 peraturan selama Februari hingga Juni. Selain itu, re-alokasi anggaran pusat dan daerah untuk penangan Covid-19 sebesar Rp 677,2 Triliun.

Saat ini beberapa daerah bahkan sudah diterapkan kebijakan new normal, dimana hal ini memperbolehkan setiap orang untuk bepergian dan pengiriman barang. Namun harus memenuhi protokol Covid-19 berupa empat syarat, sepeti cuci tangan, mamakai masker, menjaga jarak, dan istirahat yang cukup. “Sebagai orang yang pandai berpikir, maka kita harus pandai juga dalam memetik hikmah dari setiap kejadian termasuk pandemi ini,” ucap Beni Cahyadi.

Wabah Covid-19 seharusnya membuat setiap orang berpikir, begitu pula perkataan dari Nuha Anfaresi, salah satu Mahasiswa Berprestasi Teknik Lingkungan UII. Momen seperti ini dapat dijadikan kesempatan untuk merefleksi diri dengan terus kembali ke jalan Tuhan, jalan menuju kemenangan. Sebab menurutnya, manusia tidak dapat membuat kebijakan atau aturan tanpa pedoman dari Yang Maha Kuasa. Ia juga mengajak kepada pemuda terutama mahasiswa untuk terus berkontribusi memberikan yang terbaik untuk negeri dalam melawan Covid-19. “Sekarang saatnya kita bergerak dan berkolaborasi dengan segala pihak untuk saling bergantung. Ini waktu untuk refleksi diri kita, lingkungan sekitar,” pesannya. (SF/RS)