Menilai UU Minerba untuk Kemakmuran Rakyat
Undang Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang ditetapkankan dalam rapat paripurna DPR di Senayan telah menimbulkan banyak polemik. Penetapan UU Minerba No 3 Tahun 2020 merupakan perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Hal ini disampaikan Kepala Satuan Pengawasan Internal UIN Sunan Kalijaga, Dr. Budi Ruhiatudin, S.H., M.Hum. dalam kajian keilmuan dengan tema “Problematik RUU Minerba” yang diselenggarakan oleh Lembaga Eskekutif Mahasiswa UII (LEM UII), Sabtu (22/8).
Budi Ruhiatudin yang juga Dosen Hukum Lingkungan di Fakultas Teknik Sipil dan perencanaan UII menyebutkan dalam UU Minerba terdapat 83 pasal yang diubah, 52 pasal baru, dan 18 pasal dihapus. Sehingga total jumlah pasal menjadi 209 pasal. Ia juga menjelaskan dalam penyusunan UU Minerba terdapat satu pasal yang dijadikan pedoman dalam penyusunan UU Minerba yaitu Pasal 33 UUD 1945, sebagaimana yang termaktub dalam ayat 2 yang berbunyi Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
“Jadi cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, itu harus dikuasai oleh negara, mengapa harus dikuasai oleh negara? Karena di negara itulah punya tugas untuk memberikan kemakmuran kepada rakyatnya. Maka dilanjutkan dengan ayat 3 yaitu Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat,” terang Budi Ruhiatudin.
Dalam pemaparannya Budi juga menyampaikan pendapat Prof. Harun Al Rasyid mengenai makna pasal 33 UUD 1945 yaitu negara berhak mengatur tetapi tidak harus memiliki. Dengan itu makna tidak harus memiliki bisa dimaknai dengan diperbolehkannya pelaku usaha baik perusahaan swasta, perseorangan, asing, maupun BUMN turut andil dalam mengelola Minerba. Dari sinilah ketika pemerintah merubah istilah Kontrak Karya dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus, banyak perusahaan asing yang merasa tidak nyaman dengan peristilahan ini.
“Banyak perusahaan-perusahaan asing yang merasa tidak nyaman, dengan istilah izin usaha. Sehingga mereka mengatakan bahwa tidak ada kepastian berusaha di Indonesia, dan yang mereka inginkan hanyalah kontrak karya,” tuturnya.
Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 149/PUU-VII/2009 tentang Ketenaga listrikan, Budi Ruhiatudin mengatakan bahwa tenaga listrik dianggap menguasai hajat hidup orang banyak. Ia berpendapat dengan memberi peluang kepada tangan asing dan swasta menimbulkan kurangnya kesejahteraan bagi rakyat, dan harga dipermaikan oleh pasar. Dengan itu adanya Pasal 33 UUD 1945 tidak melarang privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak menindaskan penguasaan negara. “Yang dikhawatirkan terkait dengan UU Minerba ini persis seperti yang dikhawatirkan di dalam UU ketenagalistrikan yaitu terkait liberalisasi yang kebablasan,” pungkasnya.
Terkait UU Minerba penguasaannya atau penyelenggaranya diserahkan kepada pemerintah pusat, meskipun untuk hal-hal yang tidak terlalu besar berupa usaha perseorangan, perizinannya bisa siselegasikan kepada pemerintah daerah. Sesuai dengan maksud kata ‘Penguasaan’ sebagaimana dalam UU adalah fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan.
Budi Ruhiatudin menyebutkan dalam kebijakan Nasional Pengolaan sebagaimana dalam Pasal 5, pemerintah yang menentukan Jumlah produksi Minerba, penjualan, dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu atau batubara, termasuk juga wilayah izin usaha pertambangan logam dan batubara ditetapkan oleh Menteri baik darat maupun lautan.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam Pasal 36 dibagi menjadi dua tahap kegiatan. Pertama, eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. Kedua, operasi produksi yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengelolahan dan pemurnian, pengembangan atau pemanfaatan serta pengangkutan dan penjualan.
“Perusahaan tambang ini, harus menyediakan dana untuk rencana reklamasi dan pasca tambang, yang mana dananya dititipkan kepada negara sebagai jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang atau bioremidiasi,” ucapnya. (HA/RS)