Mengurai Masalah Kesehatan Mental Mahasiswa
Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan International Seminar of Student Happiness and Wellbeing in University Life. Acara yang digelar pada Rabu (20/12) di Gedung Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII ini diharapkan dapat memberikan pemahaman hingga alternatif terkait dengan penanganan isu kesehatan mental.
Seminar internasional menghadirkan pembicara dari lintas kampus, yakni Ts. Dr. Nur Azma Amin dari Universiti Kuala Lumpur (UniKL), Malaysia, Prof. Uichol Kim dari Inha University, Korea Selatan, serta Dr.rer.nat. Dian Sari Utami, S.Psi., M.A. dari UII. Kegiatan dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Kemitraan & Kewirausahaan UII, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D.
Wiryono Raharjo dalam sambutannya, menyoroti sejumlah kasus bagaimana mahasiswa mengalami masalah mental yang dapat berdampak buruk pada proses pembelajaran. Ia menyatakan bahwa berdasarkan perspektif arsitektur, masalah dapat diselesaikan apabila diketahui terlebih dulu.
“Anda hanya bisa mendesain apabila Anda mengetahui masalahnya. Kalau tidak tahu masalahnya, maka Anda tidak bisa selesaikan masalahnya. Apa yang akan Anda selesaikan? Menurut saya, menjadi bahagia adalah dengan mengetahui masalahnya,” tuturnya.
Pada seminar yang dimoderatori oleh Dr. Herman Felani Tandjung, S.S., M.A., dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi & Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII tersebut, Prof. Uichol Kim menjelaskan bahwa rahasia dari kesehatan mental adalah mengerti pengalaman diri. Baginya, hidup justru membahagiakan dengan menghadapi tantangan.
“Kalau Anda mau depresi, menyerahlah pada harapan, keyakinan, dan cinta. Dan itu semua ada dalam agama. Sepanjang sejarah, hidup ini memang penderitaan. Tapi agama memberikan harapan tentang masa depan dan sekarang. Kalau Anda punya harapan, maka Anda akan lebih bahagia,” ungkapnya.
Otak mesti dilatih agar generasi muda tidak mudah mengalami depresi maupun stres, seperti dengan paham cara bersosialisasi dalam membangun hubungan. Menurutnya, masalah Indonesia dan Korea Selatan ada pada masyarakat yang menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar. Ia mencontohkan bagaimana anak-anak yang ironisnya dibesarkan dengan gawai pintar (smartphone).
“Kalau Anda menyendiri, riset menunjukkan bahwa itu bisa membunuh. Anda akan hidup 10 tahun lebih pendek dan berkemungkinan lebih untuk mengalami depresi, stres, dan marah. Dan bagaimana caranya menyendiri? Gunakan smartphone. Hati-hati, smartphone bisa membuat bodoh. Media sosial bisa mengasingkan Anda,” ujarnya.
Prof. Kim menyerupakan stres dengan kondisi seseorang yang tidak mengenali arah pulang. Tatkala orang tersebut akhirnya menemukan jalan kembali, maka semua perasaan stres dapat hilang. Oleh karena itu, manusia hanya perlu berfokus untuk mencari solusinya.
“Sekarang Anda tahu apa yang membuat Anda bahagia. Anda mesti belajar, membangun relasi. Tapi itu akan jadi hal sulit dalam hidup. Akan lebih mudah apabila hanya menggunakan smartphone. Jadi apakah Anda ingin melakukan yang mudah namun membuat depresi, ataukah yang sulit tapi membahagiakan? Itulah pilihan yang harus Anda tentukan,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Dr. Nur Azma Amin dari UniKL menyampaikan pemaparan mengenai isu-isu yang berkemungkinan dalam memengaruhi kesehatan mental mahasiswa, termasuk soal kelas, hubungan keluarga dan pertemanan, prestasi, finansial, hingga beban dan tugas akademik.
“Setiap hari adalah momen penuh stres. Kita punya tenggat waktu yang harus dipatuhi, tugas-tugas yang harus dikirimkan. Tapi sebetulnya kemampuan kita untuk merencanakan aktivitas-aktivitas berdasarkan prioritas dapat menghindarkan kita dari stres yang tidak diperlukan, sehingga dapat menyelesaikan tugas sesuai rencana,” ucapnya.
Menurutnya, data terkait kesehatan mental antara Indonesia dan Malaysia cukup serupa. Salah satu misalnya adalah kasus gangguan kecemasan dan depresi seusai pandemi Covid-19. “Para mahasiswa dipaksa untuk belajar di lingkungan yang tidak biasa. Secara jarak jauh, dengan segala keterbatasan, masalah internet, dan harus berada di rumah,” sebut Dr. Azma.
Ia menguraikan pentingnya melakukan refleksi sebagai bentuk kepedulian terhadap diri. Ia menyarankan agar mahasiswa dapat terbuka dengan permasalahan yang sedang dialami, salah satunya melalui konseling. Ia pula mencontohkan kegiatan yang harus mahasiswa hindari, seperti terlambat ke kelas sebab begadang bermain gim.
“Buat rutinitas. Pahami kapan harus berhenti terhadap hal-hal yang kurang perlu, untuk tidak ikut-ikutan, untuk berani bilang tidak. Jangan memaksa diri untuk melakukan yang tidak semestinya. Fokuslah ke hal-hal yang positif,” pesannya.
Adapun Dr. Dian Sari Utami dari UII memaparkan sejumlah strategi dalam mengatasi dampak dari gejala gangguan mental, termasuk dengan berpikir rasional, menyadari pentingnya bantuan orang lain, membangun literasi mental, membentuk sikap tangguh (resilience), meningkatkan spiritualitas dan kesadaran, hingga memahami keterbatasan.
“Menjadi perlu untuk memahami bahwa kita adalah orang-orang yang rentan. Kita benar-benar orang yang tidak sempurna. Kita punya kekurangan, dan ini yang harus kita sadari. Mengenali kerentanan ini akan membantu kita untuk lebih baik,” jelasnya.
Komunitas yang positif juga dapat berkontribusi dengan menjadi lingkungan yang suportif dalam mendukung kesehatan mental yang baik di kampus. Menurutnya, hal demikian terutama penting bagi mahasiswa internasional yang rentan merasa homesick hingga terisolasi secara sosial.
Selain itu, Dr. Dian juga berpesan agar para mahasiswa berani menghadapi tantangan dan tidak mengkhawatirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Misal caranya ialah dengan membingkai ulang (reframe) masalah sebagai tantangan. Baginya, justru bukan pengakuan yang akan dicari, melainkan pengalaman untuk mengembangkan kemampuan diri.
“Coba bingkai ulang. Lihat dari pelajaran yang didapat. Apa yang bisa diambil dari situasi yang dialami. Menghadapi kesalahan menjadi penting. Jangan takut, siap salah. Kenapa? Karena kita manusia, dan kita hidup dengan kesalahan. Walaupun jangan sampai diulang-ulang, sebab kita mengambil pelajaran,” terangnya. (JRM/RS)