,

Mengupas Riwayat Imam Al Ghazzali Sang Pencerah Peradaban

Salah satu tokoh yang sangat terkemuka dalam bidang filsafat dan tasawuf serta berpengaruh besar terhadap pemikiran di dunia islam adalah Imam Al Ghazzali. Namun hanya sedikit orang yang mengetahui sejarah perjalanan hidupnya. Dalam Sekolah Pemikiran Pendidikan Islam kali ini pada Jum’at (24/5), dikupas sejarah dan biografi Intelektual Imam Al Ghazzali. Kajian disampaikan oleh Kurniawan Dwi Saputra, Lc., M.Hum, salah satu dosen Filsafat di UII.

Muhammad Al Gazzali Al-Thusi lahir pada tahun 450 H di kota yang bernama Al-Thusi dan wafat pada usia 55 tahun. “Tidak banyak yang tahu ada perselisihan antar ulama dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar” jelas Kurniawan.

Dalam waktu 55 tahun Imam Ghazzali menghasilkan karya yang luar biasa. Pada usia beliau di bawah 30 tahun beliau menulis buku Tahafut Al Falasifah yang berisi bantahan argumen para filsuf terkemuka Islam. Tidak hanya satu buku tapi banyak buku yang menjelaskan tentang Filsafat, Tasawuf, juga Ushul Fiqh. Pada usia 34 tahun beliau sudah menjadi ahli atau professor di bidangnya.

Kurniawan menjelaskan “Banyak ilmu yang ia kuasai karena kegigihannya dalam menuntut ilmu meskipun sulit karena Imam Ghazzali bukan dari kalangan keluarga mampu dan sejak kecil sudah ditinggal wafat ayahnya, sehingga beliau bisa menjadi guru besar di Madrasah Nizamiyah”.

Menurut Kurniawan ada tiga fase pemikiran Imam Al Ghazzali yaitu fase pra-skeptisisme, fase skeptisisme, serta fase masa tenang dan pencerahan “Skeptisisme itu adalah semacam keragu-raguan yang diraskan Imam Ghazzali pada masa puncak kejayaannya, ia ingin mencapai suatu kepastian tentang hakikat yang dia rasa tidak cukup didapat dengan filsafat atau fikih” jelasnya.

Pada fase ke tiga Imam Ghazzali menuliskan buku Ihya’ Ulumuddin tentang tasawuf yang banyak dipakai oleh kaum muslim sekarang. Imam Ghazzali wafat pada saat ia mempelajari ilmu-ilmu hadist, yang itu karena satu catatan untuk karyanya yang riwayatnya sangat lemah.

“Pandangan Imam Ghazzali terhadap ilmu pengetahuan yaitu satu-satunya hal yang paling mulia dalam diri manusia adalah mendekatkan diri pada Tuhan dengan amal sholeh yang dibekali dengan ilmu yang cukup dan baik. Dan beliau menekankan pada etika dan akhlaq menuntut ilmu antara guru dan murid” pungkasnya.

Ilmu menjadi penting karena menjadi asas untuk amal, dan amal menjadi penting karena asas untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. (CSN/ESP)