Mengupas Fikih Seputar Ibadah Kurban
Program Studi Ahwal Syakhsihyah Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan Kajian Special Fikih Kurban dengan tema Hukum-Hukum Seputar Ibadah Kurban. Kajian ini berlangsung di Masjid Ulil Albab UII pada (6/7) dengan pemateri Ustaz Dr. Aris Munandar. S.S., MPI. yang juga Staf Pengajar Prodi Ahwal Syakhshiyah FIAI UII.
Dalil disyariatkannya penyembelihan hewan kurban ada pada Q.S. Al Kautsar ayat kedua yang artinya “Maka kerjakanlah sholat ikhlas karena Rabbmu, dan sembelihlah hewan kurban dengan penuh keikhlasan karena Rabbmu”. Aris Munandar menjabarkan orang-orang yang terkena perintah untuk berkurban adalah muslim, merdeka dan bukan budak, baligh, berakal serta orang yang mampu. “Orang yang mampu ini tidak harus kaya raya, namun mampu untuk menyembelih hewan kurban”. Jelasnya.
Selain itu ia juga mengatakan dianjurkan bagi orang yang berkurban untuk tidak memotong kuku dan rambut sejak awal Zulhijah hingga hewan kurbannya disembelih. “Hadistnya jelas berbicara tentang shohibul kurban atau orang yang berkurban bukan hewan kurban. Kalau kita bisa mengakses langsung referensi Bahasa Arab jelas, jelas bahwasanya anggapan sebagian orang larangan potong bulu, potong rambut, potong kuku itu untuk hewan kurban itu mengada-ada.”Tegasnya.
Adapun kurban yang tidak boleh dimakan oleh shohibul qurban adalah kurban nazar, yaitu kurban yang dilakukan karena seseorang telah bernazar. “Kalo kurban nazar shohibul kurban tidak boleh makan sedikit pun darinya. Tidak boleh makan ini hukumnya haram, jika nekad makan maka wajib ganti.” tuturnya. Lalu ia menambahkan jika kurban yang dilakukan adalah kurban sunnah, maka seorang shohibul kurban dianjurkan memakan sebagian dari daging kurbannya.
Terakhir ia membahas mengenai hukum dalam distribusi hewan kurban, ada tiga jenis yaitu dimakan oleh shohibul kurban hukumnya dianjurkan. Diberikan kepada fakir miskin hukumnya wajib, dan jika dibagikan kepada tetangga yang bukan fakir miskin maka hukumnya mubah.
“Seandainya mereka tidak dikasih tidak apa-apa, karena yang wajib adalah untuk fakir miskin. Nah tentang distribusi maka di sini disampaikan mewakili mazhab syafi’i, yang afdol semuanya disedekahkan kepada fakir miskin. Kecuali satu suap, satu kerak daging kecil untuk shohibul kurban.” tutupnya. (LY/ESP)