Mengkaji Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Komunitas Peradilan Semu Lembaga Eksekutif Mahasiswa (KPS LEM) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan kajian aktual bertemakan “Tinjauan Hukum terhadap Kebencian Berpendapat di Indonesia Kebebasan Berpendapat Vs Penafsiran Hukum” pada Sabtu (17/7). Kajian menghadirkan pembicara Dosen FH UII & Direktur PUSHAM UII Eko Riyadi, S.H., M.H. dan Direktur YLBHI Asfinawati Direktur YLBHI.
Mengawali pemaparannya Asfinawati menjelaskan prinsip HAM, dimana pada vienna declaration & programme of action menyebutkan bahwa seluruh HAM adalah universal, tidak bisa dibagi-bagi, saling tergantung, saling terkait. Prinsip HAM meliputi berlaku di manapun manusia itu berada. Hak harus diberlakukan seluruhnya, tidak bisa dipilih hanya mau menjalankan hak A dan tidak hak B, suatu hak akan tergantung dari pemenuhan hak lain dan pelanggaran terhadap suatu hak akan menimbulkan pelanggaran terhadap hak lainnya. Pelanggaran terhadap hak lainnya itu seperti Irisan dengan isu lain misalnya tentang kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama atau berkeyakinan dan lainnya.
Lebih lanjut dijelaskan, pelanggaran hak berekspresi & berpendapat, dimana YPBHI mencatat di tahun 2020 ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kasus-kasus tersebut didominasi oleh pelanggaran hak bereskpresi dan menyatakan pendapat di muka umum. Jenis hak yang dilanggar, menurut catatan YLBHI dan kantor-kantor LBH di seluruh Indonesia, pelanggaran terhadap hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum meliputi pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan, pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital, dan pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi.
Mengenai aktor pelaku, bahwa sebagian besar pelanggaran hak berekspresi dan berpendapat dilakukan oleh aktor negara. Kepolisian ri menjadi aktor pelaku pelanggaran utama, disamping ada pula keterlibatan militer. Sementara aktor non-negara mengambil porsi kecil dari seluruh pelanggaran yang terjadi, dimana tampak keterlibatan institusi pendidikan dan ormas tertentu. Pada modus pelanggaran,menurut data bahwa kriminalisasi urutan tertinggi dari modus pelanggaran hak berpendapat dan berekspresi.
Sementara Eko Riyadi dalam kesempatannya menjelaskan mengenai kebebasan berpendapat: ruang lingkup dan batasan. Dengan rujukan Pasal 19 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik, mengatur 2 hal yang penting : pasal 19 mengakui abhwa setiap orang harus memiliki hak untuk bebas beropini tanpa turut campur yang tidak sah dan setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi.
Kebebasan berekspresi tersebut didalamnya meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan berikan, informasi dan ide; semua jenis, terlepas dari perbatasan, baik secara lisan,secara tertulis atau tercetak,dalam bentuk seni,atau melalui media lain pilihannya. Pada prinsi Camden menyebukan bahwa peraturan tentang media harus dilakukan oleh badan-badan independen yang bertanggung jawab kepada publik dan yang beroperasi secara transparan. Media memiliki tanggung jawab untuk mematuhi standar tinggi penyediaan informasi yang memenuhi standar profesional dan etika yang diakui. Hak untuk mengoreksi informasi yang telah dipublikasikan sebelumnya atau siaran yang tidak benar.
Menurut Eko Riyadi, negara harus memastikan bahwa pejabat publik harus menghindari membuat pernyataan yang mempromosikan diskriminasi atau merusak kesetaraan dan pemahaman antarbudaya. Berikutnya, negara harus terlibat dalam upaya yang luas untuk memerangi gaya negatif dan diskriminasi terhadap, individu dan kelompok. Sedangkan kewajiban negara pada prinsip Camden itu negara tidak boleh memaksakan pembatasan apapun pada kebebasan berekspresi yang tidak sesuai dengan standar.
Disampaikan Eko Riyadi, semua negara harus mengadopsi undang-undang yang melarang advokasi kebencian nasional, ras atau agama. Negara tidak boleh melarang kritik yang diarahkan pada, atau perdebatan tentang, gagasan, keyakinan atau ideologi tertentu, atau agama atau lembaga keagamaan. Negara harus meninjau kerangka hukum mereka untuk memastikan bahwa peraturan ujaran kebencian sesuai dengan yang di atas. Mengenai pembatasan yang diatur di pasal 19 ayat (2) Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik, bahwa yang disediakan oleh hukum dan yang diperlukan itu pertama dibatasi di atas nama baik orang lain dan kedua yakni pembatasan dilakukan dalam rangka untuk melindungi keamanan, nasional, umum, kesehatan dan moral publik. (FHC/RS)