Mengkaji Dinamika Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan Kuliah Umum “Mahkamah Konstitusi dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia”. Acara yang diadakan di Gedung Auditorium FH UII, kampus terpadu itu menghadirkan dua hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H. dan Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.
Suhartoyo dalam materinya menyampaikan bahwa kewenangan MK berlandaskan konstitusi Pasal 24C UUD 1945. MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, menyelesaikan sengketa lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, menyelesaikan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), dan memberikan pendapat apabila MPR beranggapan bahwa Presiden/Wakil Presiden melakukan pelanggaran (impeachment).
Dinamika MK dalam memutus berbagai persoalan yang menjadi kewenangannya terus berkembang. Beberapa contohnya seperti, adanya perluasan makna bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) kedudukannya dapat disamakan seperti UU, sehingga dapat diajukan judicial review ke MK. Contoh lainnya, MK juga berwenang untuk mengadili sengketa pilkada, yang kemudian ditetapkan sebagai kewenangan tambahan MK melalui ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016.
Selain itu, Suhartoyo menjelaskan dinamika putusan di MK tidak pernah lepas dari karakteristik para hakimnya. Menurutnya, Hakim Konstitusi memiliki arah putusan yang berbeda-beda antara satu dan yang lain. Sebagai contoh ada Hakim Konstitusi yang orientasinya formal legalistik, konservatif, ataupun progresif. Hal inilah kemudian juga turut mewarnai dan menjadi wajah putusan MK saat ini, yang meski demikian tetap mempresentasikan nilai-nilai yuridis, filosofis, dan sosiologis dalam putusannya.
Keluwesan Hakim Konstitusi Menerapkan Doktrin Hukum
Sementara itu, Saldi Isra menyoroti pentingnya menerapkan suatu doktrin dan/atau teori sebagai kebiasaan Hakim Konstitusi dalam menangani suatu perkara. Ini bertujuan agar hakim memahami maksud dan tujuan dari dibentuknya suatua UU, sehingga dapat menentukan sikapnya dengan baik dalam menangani suatu perkara.
Saldi Isra berpendapat bahwa sah-sah saja seorang hakim mengubah pendiriannya dalam menangani suatu perkara, selama ia memiliki dan memberikan alasan yang baik dan dapat diterima atas perubahan pendiriannya tersebut.
Hakim Konstitusi juga perlu mengkaji dan mengikuti putusan-putusan pengadilan. Hal ini karena putusan pengadilan kerap kali telah menghapus atau mengubah aturan-aturan yang ada dalam UU.
“Jangan berhenti di pasal-pasal dalam UU, karena jangan-jangan apa yang ditulis oleh UU itu sudah diubah oleh putusan pengadilan. Baik untuk kasus konkrit maupun untuk kasus-kasus yang ada kaitan norma yang dilakukan oleh MK,” ujarnya.
Para Hakim Konstitusi di Amerika Serikat dalam memutus suatu perkara selalu melihat pada risalah pembentukan konstitusi negaranya untuk mengetahui maksud dan tujuan para pembentuk konstitusi saat membentuk/merumuskan konstitusi tersebut. Begitupun yang juga menjadi pertimbangan MK saat ini dalam memutus suatu perkara.
Menurutnya, penting juga untuk para mahasiswa mau membaca putusan-putusan pengadilan atau risalah pembentukan suatu UU. Hal ini agar dalam mempelajari ilmu hukum mahasiswa tidak hanya berhenti sampai membaca norma yang tertulis dalam UU, tapi juga mengetahui maksud dan tujuan dari adanya pembentukan UU tersebut. (EDN/ESP)