Menghadapi Krisis Iklim, Lahan, dan Sumber Daya Manusia

Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII) kembali menyelenggarakan kegiatan Coffee Morning Lecture #6 yang mengangkat tema Quo Vadis Petani : Menghadapi Krisis Iklim, Lahan, dan Sumber Daya Manusia pada Jumat (28/06) di Ruang IRC FTSP UII. Hadir sebagai pembicara Khaerul Anam W.P., S.Fil (Praktisi Permakultur), Prof. Dr. Jamhari, S.P., M.P (Guru Besar Fakultas Pertanian UGM), dan Ir. Sigit Hardjono, M.P. (Kepala Bidang Holtikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Istimewa Yogyakarta).

Dekan FTSP UII dalam sambutannya mengapresiasi kegiatan rutin ini karena mampu mempertemukan komunitas pemerhati yang berkecimpung didalam topik yang diangkat yang harapannya dapat memantik diskusi lebih lanjut sehingga muncul ide-ide besar untuk dibawa ke sektor masing-masing untuk bisa berkontribusi pada hal yang lebih luas.

“Semua pihak di komunitas selalu punya background dan pengalaman yang bisa dibagikan. Topik ini kita ambil harus diobrolkan secara fundamental yang pastinya menghadirkan stakeholder yang tugasnya saling berkaitan dan melengkapi. Ada akademisi-akademisi yang cross discipline yang mampu meleburkan disiplin ilmu karena kita yakin itu pasti perlu dipikir ulang. Kemudian pemerintah, tanpa adanya mereka akan sulit ada perubahan-perubahan secara struktural itu terjadi,” ungkapnya

Lebih lanjut Prof Ilya menambahkan ada pelaku usaha dari topik yang diangkat dan penting keberadaanya karena dengan adanya pelaku ikut andil maka akan jelas rise and found-nya. Selain itu juga ada media yang mempunyai peran yang sangat fundamental karena mampu menyebarkan berita baik guna mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam kegiatan in juga dipaparkan terkait rencana urban farming hidroponik yang ada di FTSP UII oleh Ir. Hanif Budiman M.T., Ph.D, salah satu anggota Tim Lanskap FTSP UII.  “FTSP menjadi satu titik yang krusial karena disini ada bekas-bekas sungai, kemudian lingkungan-lingkungan yang dulunya alami tumbuh menjadi lingkungan-lingkungan urban yang lebih padat, dan yang terpenting lagi secara keseluruhan tumbuh menjadi satu kampus yang intensitas kegiatan yang sangat padat, akhirnya ada beberapa konsep yang telah direncanakan terdahulu yang akan diimplementasikan pada masterplan review maupun program-program yang ada di fakultas,” papar Ir. Hanif sembari memperlihatkan rancang gambar urban farming hidroponik FTSP.

Rancang gambar urban farming hidroponik FTSP ini menghadirkan 3 instalasi hidroponik dengan tinggi 1,5 meter dan lebar 4 meter serta lubang hidroponik sebanyak 320 lubang dan 25 planter herbal. Rancangan dibangun berjenjang agar tiap lapisan (layer) mendapat cahaya yang optimal dan rotasi sinar yang cukup. Konstruksinya dibangun dengan Hollow Galvanis 3 serta dilengkapi dengan pH meter, TDS meter, dan gelas ukur untuk mengontrol nutrisi dan mengukur tingkat oksigen tanaman.

Prof. Jamhari dalam paparannya menyebutkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan supply and demand (tingkat penawaran dan permintaan) yang divergen pada pangan dan pertanian. Pada sisi permintaan (demand) populasi masyarakat Indonesia yang selalu meningkat dan kebutuhan akan produksi pertanian tidak hanya untuk pangan (food) tetapi juga untuk pakan (feed), bahan bakar (fuel), serta bahan baku pakaian (fiber). Sedangkan sisi penawaran (supply) kehidupan pertanian di Indonesia semakin menurun dengan adanya penyusutan lahan, perubahan iklim, dan water shortages karena penggunaan air yang dipakai diseluruh bidang kehidupan tidak hanya untuk pertanian.

“Jumlah penduduk di Indonesia akan sampai ke puncak tahun 2062, tentunya disaat itu kebutuhan pangan akan mencapai tingkat puncaknya, jadi harus kita siapkan dari sekarang. Ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan dari luar negeri berupa gandum, kedelai, gula, jagung, beras, dan lain sebagainya serta karakter konsumsi penduduk khususnya generasi muda yang mengikuti budaya luar negeri harus kita sikapi dengan cermat ditengah kapasitas supply yang menurun dan ketersediaan sumber daya yang makin terbatas,” jelas Guru Besar Fakultas Pertanian UGM ini.

Khaerul Anam dalam pemaparannya menjelaskan bahwa sebesar 89,72% penggunaan lahan pertanian di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat dikategorikan dibawah standar pengolahan prdouktif yang menjamin pertanian berkelanjutan dikarenakan penggunaan pupuk kimia yang sangat tinggi dan penggunaan pestisida yang berbahaya. Dari hal ini, Khaerul memperkenalkan permakultur yang tidak hanya berfokus pada pertanian yang berkelanjutan tetapi mampu melakukan regenerasi pertanian yang lebih baik.

“Pertanian regenatif adalah sebuah perubahan paradigma yang tadinya kita melawan alam menjadi bermitra dengan alam. Kita ambil contoh hama, keberadaan hama itu membantu kita menyeleksi tanaman yang sehat atau sakit, sementara kita berusaha tanaman yang sakit karena kita mau makan dengan membasmi hama, jadi dengan mengonsumsi tanaman yang sakit maka berkorelasi imunitas kita menjadi turun, dari hal ini mindset kita harus diubah,” terang Khaerul.

ISelanjutnya, r. Sigit Hardjono memaparkan tantangan-tantangan yang dihadapi sektor pertanian meliputi krisis iklim seperti kekeringan, banjir, hama penyakit tanaman, dan kenaikan permukaan laut. Kemudian, ada krisis lahan untuk pembangunan yang menyebabkan degradasi lahan dan akses lahan yang terbatas bagi petani kecil. Krisis SDM Petani yang tergambar dengan kurangnya minat generasi muda dalam bertani sedangkan populasi petani yang semakin menua dan keterampilan serta pengetahuan yang tidak dikembangkan. Selain itu, ketidaksbtabilan harga pangan, persaingan dengan produk impor, dan akses pasar yang terbatas menjadi tantangan bagi pertanian Indonesia.

“Upaya yang dapat dilakukan dalam menghadapi tantangan ini dengan mengembangkan varietas tanaman tahan hama, menerapkan praktek pertanian berkelanjutan, memanfaatkan teknologi, membangun infrastruktur irigasi yang efisien, dan meningkatkan edukasi dan pelatihan petani,” papar Ir. Sigit. (AHR/RS)