Mengenang 11 Tahun Meletusnya Gunung Merapi
Tim Bantuan Medis Mahasiswa TBMM HUMERUS Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) menggelar acara webinar Desa Tanggap Bencana pada Sabtu (6/11) dalam rangka mengenang sebelas tahun pasca kejadian Gunung Merapi meletus pada 5 November 2010 silam.
Kembali pada 11 tahun yang lalu Gunung Merapi adalah gunung api aktif mengalami erupsi mulai 26 Oktober 2010 pukul 17.02 dengan beberapa kali memuntahkan material gunung hingga diiringi awan panas dan banjir lahar dingin sampai jarak 14 kilometer. Hingga akhirnya pada tanggal 5 November terjadi letusan yang terdengar di tiga kota yakni Yogyakarta, Magelang, dan Wonosobo.
“Letusan Merapi sebesar itu berdampak pada sektor permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi, hingga masalah kesehatan mental,” tutur Vequentina Puspa Indah, M. Psi, Psi seorang Psikolog.
Indah menjelaskan jika Indonesia berada dalam “Ring of Fire” dan lereng Gunung Merapi termasuk yang paling padat di dunia. Alasan warga tetap memilih untuk tinggal disana adalah karena tempatnya yang subur. Pekerjaan masyarakat di sekitar lereng kebanyakan adalah petani dan merasa diuntungkan dengan kondisi tanah yang cocok untuk bertani.
Tidak dipungkiri jika bencana alam akan meninggalkan jejak kenangan yang kurang mengenakan hingga menimbulkan perasaan rasa cemas, takut, kesedihan, dan trauma. Menurut Indah orang yang mengalami langsung peristiwa tersebut lebih berpotensi mengalaminya.
“Korban yang kehilangan keluarga maupun harta benda sebagian besar akan mengalami gangguan kesehatan jiwa,” katanya.
Indah menjelaskan kesehatan jiwa adalah bentuk perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain, dan mempunyai rasa positif terhadap diri sendiri serta orang lain.
Orang yang sehat jiwa akan merasa nyaman terhadap dirinya sendiri. Berbagai perasaan seperti marah, takut, cemas datang silih berganti tiap hari. “Rasa kecewa biasa muncul, orang sehat jiwa akan mampu mengatasi perasaan tersebut,” katanya.
Orang sehat jiwa akan mampu mencintai dan menerima cinta dari orang lain. Namun, menurut Indah ada beberapa orang yang kesulitan untuk mencintai karena pernah dikhianati sehingga mengeneralisir jika semua orang jahat. Orang sehat jiwa akan mampu menjaga jarak dengan hal-hal yang sekiranya akan membuat dirinya tidak nyaman namun tetap bersosial untuk memiliki pertemanan yang sehat.
“Sepanjang hidup manusia akan memiliki banyak fase kesehatan jiwa,” kata Indah. Oleh karena itu, ia menyarankan agar kita selalu menjaga dengan siapa kita bergaul. Orang yang bergaul di lingkungan yang sehat dan jujur akan memiliki tingkat sehat jiwa yang lebih tinggi daripada orang yang tinggal di lingkungan pembohong dan jorok.
“Kita adalah apa yang kita masukkan ke diri kita,” kata Indah. Menurutnya, termasuk apa yang kita makan, apa yang kita dengar, apa yang kita lihat, apa yang kita pilih. Oleh karena itu, sehat jiwa merupakan hasil dari banyak aspek yang kompleks. (UAH/RS)