Mengenal Lebih Dekat Mahkamah Pelayaran Nasional

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII menyelenggarakan diskusi daring dengan tema “Mengenal Mahkamah Pelayaran Nasional”. Acara yang diadakan bersama Forum Silaturahmi Advokat Alumni (FSAA) FH UII ini menghadirkan dua pemateri. Mereka yakni Peni Pudji Turyani, M.H. (Mantan Ketua Mahkamah Pelayaran) dan Asril Pasaribu, S.H. (Mantan Hakim Mahkamah Pelayaran).

Direktur LKBH FH UII, Dr. Bambang Sutiyoso, M.Hum. menyampaikan bahwa di Indonesia kerap kali terjadi kecelakaan kapal yang sebagian besar disebabkan oleh human error. “Dalam hal ini perlu dipelajari lebih dalam terkait yurisdiksi, siapa yang wajib bertanggung jawab, hingga penyelesaian kasus kecelakaan kapal. Tentunya menjadi tanggung jawab cukup berat bagi Mahkamah Pelayaran sebagai satu-satunya lembaga yang menangani tentang kecelakaan kapal di Indonesia”, ungkapnya dalam sambutan.

Sementara itu, Peni Pudji Turyani memaparkan Mahkamah Pelayaran didirikan atas dasar hukum yang jelas yakni terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), UU No 17 Tahun 2008 tentang Palayaran, PP No 9 Tahun 2019 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, hingga Permenhub No 6 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.

Ia menyoroti beberapa persoalan dalam Mahkamah Pelayaran, seperti kedudukannya yang berada di bawah lembaga eksekutif yakni Menteri Perhubungan. Implikasinya, ruang gerak Mahkamah Pelayaran terbatas karena hanya bertugas untuk melakukan sidang lanjutan berdasarkan laporan pemeriksaan pendahuluan dari Syahbandar setempat, seperti yang diatur dalam Pasal 251 UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Ia menilai seharusnya Mahkamah Pelayaran ditempatkan di bawah lembaga yudikatif, seperti yang terjadi pada Peradilan Pajak, Peradilan Industrial, dan peradilan lainnya. Di samping itu, jumlah personalia Panel Ahli Mahkamah Pelayaran dari maksimal 15 orang perlu ditambah menjadi 20 orang mengingat lamanya persidangan dan teknis yang cukup rumit.

“Perlu adanya pengkajian khusus dari akademisi untuk memberikan masukan kepada Pemerintah mengenai kedudukan Mahkamah Pelayaran. Hendaknya tidak di bawah lembaga eksekutif, namun di bawah lembaga yudikatif seperti MA, agar terwujudnya keadilan hukum dalam Mahkamah Pelayaran”, tegasnya.

Selanjutnya, Asril Pasaribu, menyebutkan Mahkamah Pelayaran memiliki wewenang untuk menangani empat macam bentuk kecelakaan kapal, yaitu manakala kapal tenggelam, terbakar, mengalami tubrukan, atau kandas.

Sebagaimana diatur dalam PP No 9 Tahun 2019 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, kecelakaan tersebut harus dilaporkan kepada Syahbandar setempat untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan. Tujuannya mencari keterangan dari pihak yang terkait dan mengumpulkan bukti. Hasil pemeriksaan dimasukkan ke dalam berita acara dan diteruskan kepada Mahkamah Pelayaran. Lembaga ini kemudian melakukan penelitian untuk menyatakan layak atau tidaknya kasus tersebut untuk ditangani serta menggelar persidangan.

Terakhir ia memerinci bahwa Mahkamah Pelayaran tidak dapat gegabah dalam memutus sebuah perkara. Sebab setidaknya ada tiga hal yang harus terpenuhi, yakni intisar kejadian kecelakaan kapal, hasil pembuktian yang diperoleh dalam pelaksanaan sidang pemeriksaan lanjutan, dan pendapat Mahkamah Pelayaran, yang memuat tentang kondisi kapal, dokumen kapal, dan awak kapal pada saat kejadian kecelakaan kapal. (EDN/ESP)