Mengelola Perbedaan Menjadi Harmoni
Musyawarah Nasional (Munas) Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS) se-Indonesia hari pertama di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), pada Rabu (08/03) menghadirkan pemaparan dari dua perwakilan organisasi massa Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Agenda pertama mengundang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang diwakili oleh Katib Syuriah PBNU, K.H. Abu Yazid Al-Busthami. Dalam pidato yang bertemakan “Merawat Jagat dan Membangun Peradaban”, Gus Yazid membawakan tiga pilar yang menjadi modal NU dalam pembangunan peradaban, yakni sejarah, infrastruktur peradaban, infrastruktur organisasi.
Menurutnya, perbedaan yang ada mesti bisa dikelola dengan baik oleh siapapun. “Kalau kita bicara tentang peradaban, maka harus bicara keumatan. Dan keumatan yang kemudian konteks saat ini adalah bagaimana kita bisa me-manage perbedaan yang ada. Perbedaan suku, ras, budaya, bahkan agama, itu menjadi harmoni,” ujarnya.
Gus Yazid menerangkan keberadaan mahasiswa NU yang berkiprah di banyak tempat, termasuk di berbagai perguruan tinggi Islam swasta. “Inspirasi dan juga motivasi untuk kita semua, terutama perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ada untuk memberdayakan warga NU yang ada ini. Kenapa? Karena mereka adalah juga bagian dari masyarakat Indonesia, bagian dari anak bangsa,” katanya.
Pada akhirnya, Gus Yazid menyatakan bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi urgen untuk masa depan Indonesia. “Di tangan mereka-mereka yang muda inilah di masa mendatang insyaallah Indonesia akan mampu mengajar negara-negara lain dan mewujudkan tatanan baru, peradaban baru. Dan itulah cara kita untuk merawat jagat dan membangun peradaban yang lebih baik,” pungkasnya.
Sementara itu, pihak Muhammadiyah diwakili Prof. Dr. Bambang Setiaji, M.Si. selaku Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pemaparannya yang mengangkat tema “Memajukan Indonesia dan Mencerahkan Semesta” menerangkan pentingnya kemajuan yang dilandaskan pada agama.
“Muhammadiyah itu di samping ‘pencerah’ juga ‘kemajuan’, ya … tetapi kemajuannya itu tentu saja, sebagai organisasi Islam, bukan asal maju. Tapi kemajuan yang disinari oleh agama,” tuturnya.
Kondisi ini kemudian dibandingkan dengan peradaban Barat yang meski maju secara teknologi maupun sosial, namun masih terdapat sisi yang hilang. “Maka peradaban yang diangan-angankan oleh komunitas Muhammadiyah, oleh Kyai Dahlan adalah masyarakat maju, masyarakat modern yang disinari agama yang signifikan,” ungkapnya.
Adapun sektor yang digarap Muhammadiyah ialah seperti melalui sejumlah organisasi otonom dan amal usaha. Meskipun berhadapan dengan tantangan di era modern, harapan untuk tetap menyinari masyarakat dengan kehidupan keagamaan tersebut disalurkan melalui upaya pendidikan yang kontributif di masyarakat.
“Peran ekonomi terbesarnya itu ya SDM-SDM lulusan-lulusan universitas, sekolah-sekolahnya itu. Ekonomi itu kan perpaduan orang dan alat … orang-orang inilah yang kemudian bersatu, mendorong industri-industri ada masjidnya, kantor-kantor ada masjidnya. Itu nampak di situ,” imbuhnya.
Prof. Bambang berharap agar muslim dapat selalu berpikir positif dalam menghadapi rintangan. “Biasanya umat Islam itu negatif aja kacamatanya itu. Kali ini kita optimis. Saya optimis. Saya sendiri yakin, Islam ini makin lama makin berkembang, baik di Indonesia dan di berbagai negara,” pungkasnya. (JRM/ESP)