Mengatasi Politisasi dan Meningkatkan Kepastian Hukum dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi

Penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana korupsi masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam aspek kepastian hukum. Hal ini menjadi perhatian dalam diskusi panel bertajuk “Paradigma Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi & Indikasi Muatan Politik” yang diselenggarakan di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) pada Kamis (30/01) memnggandeng Jakarta Justice Forum dengan JAKTV. Diskusi ini menghadirkan narasumber ahli, yakni Zaid Mushafi, S.H., M.H., Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., dan Hadi Rahmat Purnama, S.H., LL.M.

Diskusi diawali dari kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, S.H., M.H., yang menekankan pentingnya audit yang jelas sebelum seseorang dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pada kasus Tom Lembong, ia mengkritisi cara Kejaksaan Agung yang mengubah angka kerugian negara dari semula Rp400 miliar menjadi Rp578 miliar tanpa audit yang final.

“Korupsi harus menimbulkan kerugian negara yang sudah pasti (actual loss), bukan kerugian yang masih bersifat perkiraan (potential loss). Kalau auditnya saja belum fix, bagaimana bisa dijadikan dasar penetapan tersangka?” ujarnya.

Lebih lanjut, Zaid mempertanyakan apakah kasus impor gula yang menjerat Tom Lembong, yang terjadi pada 2015, dan baru diusut pada 2024 karena faktor politik. “Jika impor gula ini benar-benar merugikan negara, mengapa tidak diusut sejak awal? Apakah ada kaitannya dengan posisi politik Tom Lembong saat ini yang berada di luar pemerintahan?” katanya.

Dalam sesi lain, Dr. Mudzakkir, akademisi hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), menjelaskan bahwa terdapat permasalahan dalam penerapan UU Tipikor. Ia menyoroti bahwa UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 memiliki kelemahan dalam konsep pemberantasan korupsi.

“Pemberantasan korupsi seharusnya masuk ranah hukum administrasi, bukan pidana. Kalau seluruh kerugian negara dimasukkan ke Tipikor, semua kasus bisa dikorupsikan,” jelasnya. Ia juga menegaskan bahwa Pasal 14 UU Tipikor menjadi pintu masuk agar tindak pidana lain dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, jika terdapat ketentuan eksplisit dalam undang-undang lain yang mengaturnya.

Terkait konteks perdagangan internasional, Hadi Rahmat Purnama dari Fakultas Hukum UI menyebut bahwa Indonesia masih menghadapi banyak missed opportunity dalam sektor perdagangan akibat kebijakan yang tidak optimal.

“Setiap negara memiliki keunggulan kompetitif. Kalau kita butuh gula dan produksi dalam negeri kurang, ya solusinya impor. Persoalannya, jangan sampai regulasi justru menghambat perdagangan,” ungkapnya.

Sementara itu, Dr. Nathalina Naibaho, S.H., M.H. Ketua Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Program Studi Magister Ilmu Hukum, FH Universitas Indonesia (UI) menyoroti posisi Indonesia dalam Rule of Law Index yang masih berada di peringkat 68. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum dan penerapan prinsip una via, yang dalam hal ini telah diterapkan dalam kasus perpajakan untuk menghindari penghukuman berganda.

“Di perpajakan, una via principle sudah diterapkan, tapi di sektor lain masih belum jelas. Jika tidak ada seleksi yang ketat, bisa berpotensi melanggar hak asasi manusia,” jelasnya.

Para narasumber menekankan bahwa tanpa kepastian hukum dan independensi penegakan hukum, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan berjalan efektif. Multitafsir dalam regulasi dan potensi politisasi harus diatasi demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. (MANF/AHR/RS)